MASIGNCLEAN101

Kurban dan Semangat Kepahlawanan

11/09/2012

Setiap bulan Dzulhijjah, umat Islam di seluruh penjuru dunia melaksanakan ritus kurban. Secara etimologis, kurban (Arab: qurbaan) berarti dekat. Filosofinya, ritus yang sudah dikenal sejak awal mula keberadaan anak Adam tersebut memang dimaksudkan untuk menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT. Quran mengisahkan:

“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari keduanya (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia Qabil berkata: ‘Aku pasti membunuhmu!’ Ia (Habil) menjawab: ‘Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa.” (QS al-Maidah/5: 27)

Ritus ini dilanggengkan oleh Nabi Ibrahim AS  melalui kisah masyhur penyembelihan Ibrahim terhadap Ismail, puteranya. Ismail adalah anak yang telah sekian lama dinanti oleh Ibrahim. Namun setelah kehadirannya, Ibrahim diperintah untuk meninggalkannya pada saat bayi di padang tandus yang tak berpenduduk, dan kemudian akhirnya diperintah untuk menyembelihnya pada saat remaja.

Ibrahim melakukan semua itu dengan sepenuh ketaatan, tanpa bertanya mengapa atau menakwilnya. Pada akhirnya, kita semua tahu bahwa Allah menggantikan Ismail  dengan hewan sembelihan yang besar (QS 37: 107).

Momentum tersebut kemudian Allah SWT jadikan sebagai ritus ibadah yang dilakukan oleh kaum Mukmin setiap tahun di seluruh penjuru dunia. Mereka diperintah untuk meneladani Ibrahim yang bersedia mengorbankan hal paling berharga yang dimilikinya: Ismail, dengan melakukan penyembelihan binatang ternak.

Pertanyaan yang patut kita renungkan, bersediakah kita mengorbankan “Ismail” yang kita miliki untuk-Nya? “Ismail” itu bisa berupa harta, anak, jabatan, wanita, bahkan jiwa. Penyembelihan binatang ternak adalah simbolisasi kesediaan awal kita untuk itu. Sekiranya binatang ternak saja tidak bisa kita korbankan, maka apatah lagi dengan yang lebih besar daripadanya. Ritus ini membawa pesan bahwa jalan untuk semakin dekat dengan-Nya adalah dengan semakin mengorbankan apa yang kita cintai untuk hal-hal yang diridhai-Nya.

“Dan di antara manusia ada orang yang menjual (mengorbankan) dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah maha Peyantun kepada hamba-hambanya.” (QS al-Baqarah/2: 27)

Bicara tentang pengorbanan, lebih dari setengah abad lalu, tepatnya pada bulan November 1945, arek-arek Surabaya dengan bermodalkan kalimat “Allahu Akbar” (Allah Maha Besar) mengorbankan diri-diri mereka dalam rangka meraih ridha-Nya dan untuk menentang penjajahan. Sebab, Islam menolak penjajahan. Adagium Islam mengajarkan: ‘Isy kariiman, aw mut syahiidan. Hidup mulia atau mati syahid’.
Nabi SAW bersabda,

Siapa yang terbunuh karena membela hartanya, maka ia syahid. Siapa yang terbunuh karena membela kelurganya maka ia syahid. Siapa yang terbunuh karena membela agamnaya maka ia syahid. Dan, siapa yang terbunuh karena membela darahnya maka ia syahid.”

Artinya, siapa pun yang wafat dalam membela kebenaran dan/atau haknya, maka ia syahid.

Kemerdekaan adalah hak dan kebenaran. Karena itu, wafat dalam memperjuangkannya adalah syahid. Sementara, syahid adalah sebaik-baik pengorbanan yang diberikan oleh seorang hamba kepada-Nya, karena ia menjadi obyek kurban adalah nyawanya sendiri.

Dengan demikian, semangat kepahlawanan seharusnya merupakan salah satu dampak positif yang lahir dari renungan dan penghayatan kita terhadap ritus kurban yang rutin kita lakukan. Wallahu a’lam bish-shawab.

Sumber:
Faris, Abu. 2012. “Kurban dan Semangat Kepahlawanan”. Sharing. Edisi 71 Tahun VII: 71.
FOSEI UNSOED

Akun Official KSEI FOSEI Universitas Jenderal Soedirman