MASIGNCLEAN101

ANCAMAN DISTRUPTIF BAGI YANG KURANG KREATIF

5/26/2019

Ancaman Distruptif Bagi yang Kurang Kreatif


Istilah disrupsi merujuk kepada perubahan yang mendasar atau fundamental. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh Clayton M. Christensen, profesor Administrasi Bisnis dari Universitas Harvard. Christensen menyebut disrupsi sebagai sebuah perubahan besar yang membuat industri tidak berjalan seperti biasa, umumnya karena penemuan teknologi. Perubahan itu memunculkan pemain-pemain baru dan membuat pemain bisnis lama harus memikirkan ulang strategi berhadapan dengan era baru ini.

Perubahan besar atau fundamental tersebut sebenarnya bukan hal baru. Dalam sejarah peradaban manusia, kita setidaknya mengenal 4 disrupsi yang mengubah tatanan lama. Disrupsi pertama terjadi pada abad 18 dengan ditemukannya tenaga uap untuk mekanisasi produksi. Teknologi ini menggantikan kuda dengan kereta api sebagai alat transportasi, menggantikan tenaga kasar manusia dengan mesin-mesin untuk melipatgandakan produksi. Disrupsi kedua, terutama dipicu oleh ditemukannya tenaga listrik. Teknologi ini membuat skala produksi bisa dibuat secara massal. Disrupsi ketiga, dimulai pasca Perang Dunia II, yang ditandai dengan kehadiran elektronika dan teknologi informasi untuk otomatisasi produksi. Saat ini kita mengarah kepada disrupsi generasi keempat yang dipicu terutama oleh kehadiran internet dan dunia virtual.

Disrupsi generasi keempat ditandai oleh makin pentingnya kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), penggunaan robotika, internet untuk segala hal (Internet of Things), dunia virtual (virtual reality/VR), dan mesin cetak tiga dimensi. Jika bisnis perusahaan tidak beradaptasi dengan perubahan tersebut, perusahaan akan mati. Banyak sekali contoh, bagaimana perusahaan yang semula dominan dan menguasai pasar, tetapi karena terlambat beradaptasi dengan perubahan, pada akhirnya mati. Misalnya Kodak, yang sebelumnya menguasai pasar fotografi, karena lambat dalam mengadopsi teknologi fotografi digital, pada akhirnya bangkrut pada tahun 2012 karena kalah bersaing dengan perusahaan baru. Gejala ini terjadi dalam semua bisnis, mulai dari transportasi, perbankan, asuransi, pendidikan, pariwisata, dan sebagainya.

Mantan menteri keuangan, Muhammad Chatib Basri baru-baru ini membuat studi yang menarik mengenai dampak disrupsi teknologi terhadap tenaga kerja. Menurut perkiraanya, disrupsi teknologi dalam jangka pendek akan membuat 7,1 juta orang kehilangan pekerjaan. Disrupsi tersebut memang memunculkan tenaga kerja baru, tetapi hanya sekitar 2 juta tenaga kerja baru yang terserap sehingga nett sebanyak 5,1 juta orang akan kehilangan pekerjaan. Studi Chatib Basri ini sejalan dengan studi lain yang dibuat oleh lembaga konsultan internasional McKinsey. Lembaga ini bahkan membuat perkiraan yang jauh lebih besar. Pada tahun 2017, lembaga ini membuat studi yang memperkirakan disrupsi membawa dampak berupa hilangnya sekitar 45 juta hingga 50 juta pekerjaan di Indonesia dalam beberapa waktu ke depan (Kompas, 6 Februari 2018).

Hasil riset McKinsey atau Chatib Basri ini bisa diamati dalam kehidupan sehari-hari. Kehadiran teknologi internet dengan hadirnya berbagai macam aplikasi telah memudahkan kehidupan kita dan sebagai akibatnya banyak pekerjaan lama yang tidak lagi dibutuhkan. Dulu untuk bepergian, kita harus menghubungi biro wisata atau travel agent untuk memesan tiket atau kamar hotel. Saat ini, semua aktivitas itu bisa kita lakukan sendiri dengan mudah lewat aplikasi di handphone. Kita bukan hanya bisa memesan, tetapi juga bisa memilih dan membandingkan harga sehingga memperoleh harga yang paling murah dan pelayanan paling baik. Sebagai akibatnya, terjadi pengurangan pekerja di biro wisata atau travel agent dalam jumlah besar. Gejala ini terjadi di banyak sektor industri, mulai dari transportasi, perbankan, akuntan, hingga retail. Perilaku masyarakat yang beralih ke dunia online di bidang perbankan (e-banking) membuat layanan perbankan offline menurun, dan sebagai akibatnya kebutuhan akan tenaga teller berkurang. Hal yang sama terjadi pada dunia retail. Terjadi perubahan perilaku berbelanja, yang ditandai oleh meningkatnya aktivitas belanja online. Dampaknya, banyak pusat perbelanjaan yang sepi pengunjung, dan beberapa perusahaan kemudian melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerjanya.

Disrupsi tidak hanya berdampak pada bisnis, tetapi khususnya pada tenaga kerja. Perubahan teknologi membuat perubahan kebutuhan tenaga kerja. Banyak pekerjaan lama yang tidak dibutuhkan digantikan oleh pekerjaan dengan keahlian baru. Contoh terbaru, penggunaan e-money untuk pembayaran jalan tol hingga parkir. Perubahan ini membuat pekerjaan penjaga jalan tol dan kasir, tidak lagi dibutuhkan. Jutaan pekerja harus rela kehilangan pekerjaan akibat digantikan oleh e-money.

Disrupsi tidak bisa dihindari. Agar bisa bertahan, organisasi harus berubah dengan mengikuti perkembangan teknologi. Hal yang sama juga harus dilakukan oleh pekerja. Di satu sisi, disrupsi berpotensi menghapus pekerjaan lama. Tetapi di sisi lain, disrupsi juga memunculkan kebutuhan akan keahlian baru. Pekerja yang menyesuaikan dengan perubahan tidak akan kesulitan untuk beradaptasi. Penggunaan e-money memang menghilangkan pekerjaan kasir, tetapi pada saat yang sama menciptakan kebutuhan tenaga kerja baru di bidang IT, analis dan pengolah data dan merupakan sebuah inovasi yang efektif dan efisien

Disrupsi bisa dilihat sebagai ancaman, tetapi bisa juga menjadi peluang. Perusahaan atau organisasi harus berpikir ke depan, dan berani melakukan perubahan untuk menghadapi era disrupsi. Rheinald Kasali (2016) memberikan tiga hal untuk menghadapi era disrupsi. Pertama, organisasi tidak boleh berada di zona nyaman. Organisasi yang merasa sangat nyaman selalu berasumsi bahwa pelanggan mereka sudah sangat loyal. Padahal, ketika terjadi perubahan fundamental saat ini, perlu ditengok ulang lagi apakah terjadi pergeseran segmen konsumen yang bisa jadi berkarakter lain dengan konsumen lama.

Kedua, organisasi tidak boleh takut mematikan (kanibalisasi) produk sendiri dan membuat produk baru, jika produk lama tersebut tidak sesuai dengan perubahan. Cara ini mungkin terlihat ekstrim, tetapi harus dilakukan agar efektif dalam beradaptasi dengan perubahan. Ketiga, organisasi terus menerus membentuk ulang atau menciptakan inovasi dengan memodifikasi yang sudah ada dalam bentuk lain atau bahkan menciptakan hal baru. Tiga strategi tersebut akan membuat disrupsi bukan sebagai ancaman, melainkan justru peluang untuk mendapatkan keuntungan dan mengembangkan organisasi.

Menurut Rhenald Kasali (2017), disrupsi harus dilihat sebagai tantangan dan bukan halangan. Di saat banyak bidang pekerjaan hilang, pada saat bersamaan kita juga menyaksikan bermunculan pekerjaan-pekerjaan baru yang tak pernah kita kenal 10-20 tahun lalu: Barista, blogger, web developer, apps creator/developer, smart chief listener, smart ketle manager, big data analyst, cyber troops, cyber psichologyst, cyber patrol, forensic cyber crime specialist, smart animator, game developer, smart control room operator, medical sonographer, prosthodontist, crowd funding specialist, social entrepreneur, fashionista and ambassador, BIM Developer, Cloud computing services, cloud service specialist, Dog Whisperer, Drone operator dan sebagainya. Disrupsi teknologi memang memberi tempat kepada teknologi, robotik, dan kecerdasan buatan untuk menggantikan manusia. Tapi ini bukan berarti kemudian pekerjaan manusia memjadi terkiksi, Yang berubah adalah jenis-jenis pekerjaan dan keahlian baru. Jika pekerja bisa beradaptasi dengan perubahan tersebut, tidak ada alasan untuk takut dengan disrupsi teknologi.
Dalam menghadapi era disruptif, beberapa hal yang bisa dilakukan yaitu
1.      Menciptakan ciri khas
Ciri khas bisa menambah nilai tersendiri bagi suatu produk. Selain menambah nilai, ciri khas juga bisa memberikan kesan lebih bagi pelanggan. Sehingga produk akan lebih mudah di ingat dan di kenali, selain itu ciri khas juga bisa menjadi pembeda dengan produk sejenisnya.
2.      Melakukan eksperimen
Dalam menjalankan sebuah bisnis, pengusaha harus berani melakukan eksperimen. Agar bisa menghasilkan produk yang anti mainstream harus melakukan beberapa eksperimen untuk memberi warna baru pada sebuah produk atau industri.
3.      Keluar dari zona nyaman
Dalam menjalankan bisnis, pengusaha harus berani keluar dari zona nyaman. Mencoba hal baru dengan melakukan beberapa eksperimen agar bisnis mampu bertahan melewati waktu.






Source :

FOSEI UNSOED

Akun Official KSEI FOSEI Universitas Jenderal Soedirman