MASIGNCLEAN101

Penerapan Pajak Dalam Sudut Pandang Syariat

8/13/2020

 PENERAPAN PAJAK DALAM SUDUT PANDANG SYARIAT 

Oleh: Alfitri Indah Sari 

Department of Research


Indonesia saat ini sedang mengalami berbagai permasalahan diberbagai sector, khususnya sektor ekonomi. Agar tetap dapat bertahan dan memperbaiki kondisi yang ada, maka pajak merupakan salah satu potensi penerimaan dalam negeri yang menjadi prioritas utama karena mampu mendominasi penerimaan Negara. Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta masyarakat secara langsung yang bersama-sama mengumpulkan dana untuk pembiayaan Negara dan pembangunan nasional (Haskar, 2020). Dalam UU No.28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), menyebutkan definisi pajak sebagai kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Sedangkan, dalam Istilah Bahasa Arab, pajak dikenal dengan Adh-Dharibah atau bisa juga disebut dengan Al- Maks yang artinya “pungutan yang ditarik dari rakyat oleh para penarik pajak. Imam al-Ghazali dan Imam al-Juwaini, pajak adalah apa yang diwajibkan oleh penguasa (pemerintahan muslim) kepada orang-orang kaya dengan menarik dari mereka apa yang dipandang dapat mencukupi (kebutuhan Negara dan masyarakat secara umum) ketika tidak ada kas di dalam baitul maal.

Jika hukum Islam tetap ambil bagian dalam pola regulasi masyarakat Indonesia, maka tidak dapat dihindari bahwa transformasi hukum Islam dalam sistem hukum nasional tetap menjadi agenda dan isu utama dalam pemikiran hukum di Indonesia. Hukum Islam harus memiliki pendekatan multi dimensional kepada kehidupan, dan tidak hanya terikat kepada ketentuan normatif yang telah mengendap sekian lama, bahkan hampir-hampir menjadi fosil yang mati (Wahid, 2016). Sehubungan dengan pernyataan sebelumnya mengenai pajak, lalu bagaimana sudut pandang syariat Islam mengenai penerapan pajak? Dalam perspektif syariat Islam, para ulama fikih telah membahas hukum mengenai pemungutan pajak. Terdapat dua pendapat, diantara mereka ada yang mengharamkan mutlak dan ada yang membolehkan bersyarat, tetapi tidak ada yang membolehkan mutlak tanpa syarat. 

Di dalam buku harta haram muamalah kontemporer dijelaskan Pendapat yang mengaharamkan Negara menarik pajak diantaranya adalah al mawardi dan abu ya’la. Dalil pendapat yang mengharamkan adalah Firman Allah “hai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu ddengan jalan yang bathil” (QS An Nisa: 29). Adapun dalil mengenai hal tersebut yang dijelaskan dalam hadist Nabi Shalallahu ’Alaihi Wassalam “sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan kalian haram untuk kalian langgar satu sama lain (HR bukhori muslim).

Pada dasarnya harta setiap muslim haram untuk diambil tanpa hak dan mukus (pajak) telah dilarang oleh Nabi Shalallahu ’Alaihi Wassalam. Kewajiban seorang muslim pada hartanya telah dijelaskan syariat dan pajak tidak termasuk bagian dari kewajiban yang harus ditunaikan dari harta. Bahkan Nabi Shalallahu ’Alaihi Wassalam dalam keadaan genting saat akan perang tidak pernah menarik pajak, beliau lebih memilih cara berhutang kepada sahabat yang kaya dan menarik zakat sebelum jatuh tempo, serta menganjurkan untuk bersedekah jika tidak memiliki kemampuan untuk menghadang musuh. Dalil selanjutnya adalah Sad Adz-Dzariah (menutup perantara menuju yang haram). Andai hal ini dibuka maka menjadi kesempatan bagi penguasa yang dzalim untuk mengambil harta umat islam.

Hadits-hadits yang mengharamkan mukus itu bermakna mukus yang dzalim, adapun pajak yang ditarik berdasarkan kebutuhan pokok sebuah negara bukanlah suatu kedzaliman. Adapun dalil bahwa Nabi Shalallahu ’Alaihi Wassalam hanya berhutang dan tidak menarik pajak itu dimungkinkan jika diharapkan akan ada pemasukan kas negara untuk menutupi utang negara. Adapun jika tidak ada harapan untuk menutup utang, tentu menarik pajak dengan ketentuan syar’I merupakan satu-satunya jalan. Dalil bahwa Sad Adz-Dzariah bisa diatasi dengan membuat ketentuan untuk penarikan pajak yang dibolehkan. Kemudian terkait pajak yang tidak pernah dilakukan dimasa sahabat telah ditanggapi oleh syatibi karena tidak ada kebutuhan di waktu itu dimana keuangan baitul mal (perbendaharaan Negara) cukup untuk membiayai belanja negara.

Selanjutnya yaitu pendapat yang membolehkan pajak bersyarat. Para ulama yang membolehkan menarik pajak dalam kondisi dan syarat tertentu diantaranya al juwaini, syatibi, para ulama andalus, dan ulama mazhab hanafi, dan ibnu taimiyah dengan syarat:

  1. Ada hajah kebutuhan riil suatu Negara yang mendesak, seperti menghadapi musuh yang hendak menyerang, ibnu abidin berkata: pemerintah boleh menarik pajak jika ada maslahat untuk warganya.
  2. Pemasukan Negara dari jizyah (harta yang ditarik dari ahli kitab yang tinggal di negeri islam sebagai imbalan atas jasa keamanan dan perlindungan), kharaj (bagi hasil dari tanah yang dimiliki negara islam dan digarap oleh ahli kitab), dll. tidak mencukupi untuk membiayai kebutuhan pokok negara, dengan kata lain kas baitul mal kosong.
  3. Bermusyawarah dengan para tokoh agama. Ibnu al arobi mengatakan tidak halal mengambil harta warga negaranya kecuali untuk kebutuhan mendesak dengan cara adil dan dengan musyawarah dengan para ulama.
  4. Ditarik dengan cara yang adil dengan hanya mewajibkan pada harta orang yang kaya dan mampu. Al haitami berkata mudharat umat merupakan tanggung jawab bagi orang yang mampu, yaitu orang yang memiliki kelebihan harta setelah dikeluarkan kebutuhan pokoknya.
  5. Pendistribusian pajak yang ditarik untuk kepentingan yang telah ditujukan, tidak boleh didistribusikan untuk hal yang bersifat mewah.
  6. Adanya kebutuhan yang mendesak, jika kebutuhan tersebut telah terpenuhi maka pajak tidak boleh lagi ditarik. Dengan kata lain penerapan pajak bersifat sementara dan bukan menjadi pemasukan tetap sebuah Negara. Syatibi berkata pajak ditarik atas dasar darurat dan diukur seperlunya. Jika darurat telah hilang maka pajakpun mesti dihapuskan.

Dali-dalil pendapat yang membolehkan menarik pajak, Ayat-ayat tentang kewajiban berjihad, difa’dan tholab diantaranya firman Allah

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang yang dengan persiapan itu kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya atau dirugikan” (QS Al Anfal: 60)

Dalil maslahat mendatangkan kemaslahatan dan menolak mudharat. Andai tidak ditarik pajak maka Negara tidak bisa berjalan karena kekurangan pemasukan dana dan mudharat yang terjadi tanpa keberadaan suatu Negara yang mengatur hidup orang banyak sangat besar, maka mudharat tersebut diangkatkan dengan mudharat yang lebih kecil dengan cara menarik pajak. Sebagaimana kaidah fiqih, kalau ada dua mudharat kita pilih yang paling ringan. Dalil Qiyas dengan menganalogikan kepada kasus dimana seorang wali (orang yang dipercayakan untuk mengurus harta anak yatim) boleh mengambil harta anak yatim yang diurusnya untuk kepentingan wali tersebut dengan cara yang ma’ruf atau baik. Dalil al hajah (kebutuhan) yaitu meningkatnya kebutuhan Negara akan dana dari masa ke masa sebagaimana yang diungkapkan oleh al juwaini dan al ghozali, juga dijelaskan dalam kaidah suatu kebutuhan bisa saja disamakan dengan darurat jika dibutuhkan oleh masyarakat umum.

Dari pendapat-pendapat yang telah disampaikan, disimpulkan bahwa pada dasarnya pajak tidak dibolehkan dalam islam karena terdapat ayat dan hadits yang melarang kebijakan tersebut, namun dalam kondisi tertentu dan dengan syarat tertentu pajak dibolehkan atas dasar pengecualian hukum. Alasan utama diperbolehkannya memungut pajak menurut para ulama adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat, dan pemerintah tidak mampu mencukupi atau membiayai berbagai pengeluaran tersebut.


Daftar Pustaka

  • Haskar, E. (2020). HUBUNGAN PAJAK DAN ZAKAT MENURUT PERSPEKTIF ISLAM. Menara Ilmu, Vol. XIV No.02, 28-38.
  • Tarmizi, E. (2012). Buku Harta Haram Muamalat Kontemporer Cetakan Ke-21. Jakarta: Berkat Mulia Insani.
  • Wahid, M. A. (2016). INTEGRASI PAJAK DAN ZAKAT DI INDONESIA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF. el-JIZYA: Jurnal Ekonomi Islam (Islamic Economics Journal) Vol.4, No.1, 21-58.

FOSEI UNSOED

Akun Official KSEI FOSEI Universitas Jenderal Soedirman