MASIGNCLEAN101

MEMBAYAR ZAKAT DI TENGAH PANDEMI COVID-19

5/13/2021

MEMBAYAR ZAKAT DI TENGAH PANDEMI COVID-19

Research Department


Zakat merupakan amaliah ijtima’iah (ibadah yang berkaitan dengan ekonomi keuangan dan kemasyarakatan) dan merupakan salah satu dari rukun Islam yang mempunyai status dan fungsi penting dalam syariat Islam sehingga Al Quran menegaskan kewajiban zakat bersamaan dengan kewajiban shalat. Allah SWT berfirman: 

وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ ۗ وَمَا تُقَدِّمُوْا لِاَنْفُسِكُمْ مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوْهُ عِنْدَ اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ

Artinya:

"Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala-Nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan." (QS Al-Baqarah: 110)

Zakat oleh banyak tokoh Islam, dianggap sebagai solusi untuk mencapai keadilan bagi masyarakat, khususnya dalam hal kesejahteraan. Dengan adanya zakat, kemakmuran masyarakat diharap akan semakin bertambah atau mengurangi kemiskinan. Selain itu kesenjangan ekonomi tidak bertambah lebar yang mengakibatkan terjadinya kecemburuan sosial. Keadaan demikian akan dapat terealisasikan apabila zakat benar-benar dikeluarkan oleh kaum muslimin yang sudah memenuhi syarat yang telah ditetapkan oleh agama.

Zakat fitrah disebut zakat badan atau zakat jiwa karena yang dizakati adalah orang. Kewajiban mengeluarkan zakat fitrah harus disertai tiga syarat yakni: 1) Harus Islam. 2) Mulainya terbenamnya matahari pada akhir bulan Ramadhan dan sampai sebelum dilaksanakan shalat idul fitri. 3) Ada kelebihan, maksudnya yaitu seseorang itu mampu, artinya mempunyai kelebihan makanan pokok untuk dirinya dan keluarga pada hari raya sehari semalam.

Orang yang berhak menerima zakat fitrah, adalah yang termasuk kedalam delapan asnaf dan orang-orang yang berhak menerima zakat telah ditetapkan oleh Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:

اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغَارِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ

“Sesungguhnya zakat itu hanya untuk orang-orang fakir, miskin, amil, para muallaf yang dibujuk hatinya, hambah sahaya, orang-orang yang berhutang, orang-orang yang berjuang dijalan Allah SWT dan orangorang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketentuan yang diwajibkan Allah SWT. Dan Allah SWT Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana,” (At-Taubah: 60)


Dalam Hadis riwayat Ibnu Majah dijelaskan:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُوْلُ للهِ زَكَاةَ الْفِطْرِطُهْرَةً لِلْصَائِمِ مِنَ لَّلغْوِ وَالرَّفَثِ وَ طُعْمَةً لِلْمِسْكِيْنِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُوْلَةٌ مَنْ أَدَّاهَا بَعْدَالصَّلَاةِ فَهِيَ الصَّدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ

Artinya: Dari sahabat Ibnu Abbas beliau berkata “mewajibkan Rasulullah SAW akan zakat fitrah sebagai penyuci bagi orang berpuasa, dari hal-hal yang tidak berguna baik perbuatan maupun perkataan dan perkataan keji dan makanan bagi orang miskin, barang siapa yang membayarnya sebelum shalat idul fitri berarti itu zakat yang diterima dan barang siapa membayar setelah shalat idul fitri berarti itu hanya sebagai salah satu sedekah dari sekian banyak macam sedekah.”

Memasuki pekan terakhir ibadah puasa Ramadhan, umat muslim diwajibkan untuk membayar zakat fitrah. Bagi pandangan ulama terdahulu, zakat fitrah sejatinya diberikan di akhir Ramadhan agar Muslim yang masuk dalam kelompok rentan bisa ikut merayakan Idul Fitri. Tapi di tengah pandemi Covid-19, pembayaran zakat fitrah dapat dilakukan lebih cepat. 


Ada tiga pendapat terkait dengan waktu pengeluaran zakat fitrah ini, sebagaimana terangkum dalam Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab li al-Nawawi juz 6, h. 87-88, yang bila dikutip sebagai berikut:

يجوز تعجيل زكاة الفطر قبل وجوبها بلا خلاف ; لما ذكره المصنف . وفي وقت التعجيل ثلاثة أوجه )والصحيح( الذي قطع به المصنف والجمهور : يجوز في جميع رمضان ، ولا يجوز قبله

“Boleh menyegerakan pembayaran zakat fitrah sebelum datang masa wajibnya dikeluarkan (malam 1 Syawal) dengan tanpa khilaf berdasar keterangan penyusun kitab. Adapun mengenai waktu ta’jil (menyegerakan) ada 3 pendapat, yaitu: (1) Pendapat yang shahih sebagaimana ditegaskan penyusun kitab dan mayoritas ulama, yaitu boleh membayarkannya di semua waktu dari bulan Ramadhan, namun tidak boleh bila dilakukan sebelum Ramadhan.”


والثاني( يجوز بعد طلوع فجر اليوم الأول من رمضان وبعده إلى آخر الشهر ، ولا يجوز في الليلة الأولى ; لأنه لم يشرع في الصوم . حكاه المتولي وآخرون

“Pendapat kedua, boleh dilakukan setelah terbitnya fajar hari pertama dari bulan Ramadhan hingga terbitnya fajar dari akhir bulan Ramadhan. Tidak boleh mengeluarkan zakat fitrah di malam pertama Ramadhan, karena belum berlaku syariat puasa. Demikian, pendapat ini disampaikan oleh al-Mutawalli.”


والثالث  : يجوز في جميع السنة ، حكاه البغوي وغيره. واتفقت نصوص الشافعي والأصحاب : على أن الأفضل أن يخرجها يوم العيد قبل الخروج إلى صلاة العيد، وأنه يجوز إخراجها في يوم العيد كله، وأنه لا يجوز تأخيرها عن يوم العيد، وأنه لو أخرها عصى ولزمه قضاؤها وسموا إخراجها بعد يوم العيد قضاء

“Pendapat ketiga, boleh mengeluarkan zakat fitrah kapan pun di semua tahun. Pendapat ini disampaikan oleh al-Baghawi dan kawan-kawannya. Akan tetapi, semua pernyataan ulama Syafi’iyah menjelaskan bahwa yang paling utama adalah mengeluarkannya di hari Id sebelum bergegas keluar menunaikan shalat Id. Dan sesungguhnya zakat fitrah itu juga boleh dikeluarkan pada 1 hari id itu, dan tidak boleh menunda-nundanya hingga habis hari Id. Jika terjadi penundaan penunaiannya hingga habis hari Id, maka pelakunya dihukumi “maksiat” sehingga wajib mengqadla’nya. Para ulama menyebut bahwa penunaian zakat fitrah setelah hari id, adalah sama dengan hukum qadla’.”  


Dari tiga pendapat ini, pendapat yang terkuat adalah pendapat ke-1 dan ke-2. Pendapat ini diikuti oleh mayoritas ulama. Sementara itu, pendapat ketiga mengenai bisa ditunaikannya zakat fitrah di luar Ramadhan dinilai lemah. Meski demikian, karena didukung dalil, maka tetap dicantumkan dalam literatur fiqih, sebagaimana dikutip oleh Imam Nawawi di atas. 

Lalu apakah sah ijab dan qabul zakat fitrah tanpa berjabat tangan? Jika dirunut dari hukum asalnya, sebenarnya fungsi dari ijab dan qabul sendiri adalah hanya sebagai wasilah yang menguatkan telah terjadinya akad sehingga terjadi perpindahan kepemilikan atau tanggung jawab. Bila ijab dan qabul itu dikaitkan dengan pernikahan, maka begitu ijab dan qabul itu ditunaikan, secara tidak langsung tanggung jawab mengenai seorang anak perempuan yang sebelumnya menjadi tanggung jawab wali beralih menjadi tanggung jawab laki-laki yang menikahinya.

Dan bila ijab qabul itu dilakukan pada transaksi jual beli atau hibah dan wakaf, maka begitu ijab dan qabul itu selesai diucapkan, tanggung jawab kepemilikan barang pun beralih dari pemilik asal ke pihak yang diserahi, baik itu yang berperan selaku pembeli, penerima hadiah, atau penerima hak kelola wakaf. Pada zakat, jika ijab qabul itu selesai ditunaikan, maka hak kepemilikan dan tasharruf (pengelolaan) zakat menjadi kewenangan dari pihak amil untuk disalurkan, atau menjadi hak milik dari mustahiq sehingga ia bebas menggunakannya. 

Sebenarnya zakat sendiri dalam ketentuannya tidak ada keharusan ijab dan qabul. Ijab dan qabul baru wajib ada ketika pihak muzakki menyerahkan zakatnya itu lewat ‘amil atau wakil. Amil sendiri, kedudukannya adalah sama dengan wakil muzakki. Jadi, ijab qabul dalam zakat semata adalah karena akad wakalah (akad perwakilan) yang diambilnya. Zakat dalam fiqih hanya fokus pada keharusan menyertakan niat saat menunaikan, dan penyalurannya kepada asnaf zakat yang berjumlah 8 itu (QS At-Taubah: 60). Jadi, suatu misal ada seseorang membawa hartanya kepada salah satu dari 8 asnaf, kemudian ia mengatakan bahwa itu adalah zakatnya yang diberikan kepada asnaf tersebut maka harta yang disalurkannya itu sudah termasuk zakat.

Atau misalnya ada kejadian semacam: “seseorang telah menghitung seluruh uang simpanannya dalam satu tahun. Kemudian, ia menyisihkan 2.5% dari total uang simpanan yang sudah melebihi satu nishab itu, dan kemudian diberikan kepada salah satu mustahiq zakat, maka tindakan pemilahan itu sudah masuk kategori mengeluarkan zakat.” Karena, tindakan menghitung 2.5% dari seluruh harta simpanan itu sudah termasuk kategori niat berzakat. Sebab, niat itu memerlukan kebersamaan dengan tindakan.

Para ulama berpendapat boleh menyerahkan zakat kepada orang yang tidak tahu bahwa itu sesungguhnya adalah zakat. Alasannya, karena ketentuan penyertaan lafadh niat itu adalah tanggungan pemilik harta, dan hal itu bisa dilakukan saat tidak ada pihak penyalur (amil) yang menanganinya. Adapun, bila ada pihak penyalur, maka niat menagih bagian dari zakat kepada pemilik harta merupakan bentuk pendapat lain, sehingga tidak boleh tanpa adanya niat mengeluarkan zakat.

Akan tetapi yang terpenting dan sudah mencukupi adalah serah terima dan sekaligus terjadinya perpindahan kepemilikan” (Tharhu al-Tatsrib, juz 4, halaman 415) secara tegas dinyatakan: 

لَا يُشْتَرَطُ فِي كُلٍّ مِنْ الْهَدِيَّةِ وَالصَّدَقَةِ الْإِيجَابُ وَالْقَبُولُ بِاللَّفْظِ بَلْ يَكْفِي الْقَبْضُ وَتُمْلَكُ بِهِ

“Tidak disyaratkan di dalam pemberian hadiah dan shadaqah (zakat) adanya lafadh ijab dan qabul"

Selanjutnya mengenai zakat online atau e-zakat. Zakat online atau tanpa tatap muka sudah dilakukan satu dekade terakhir, dan semakin berkembang. Penyedia platform dari perbankan, perusahaan financial technology (FinTech) sampai e-commerce pun menyediakan pembayaran zakat secara online. Program Kendati ini bekerja sama dengan instansi penyedia jasa zakat fitrah dan donasi seperti Rumah Zakat, Dompet Dhuafa, dan BAZNAS. Pembayaran zakat secara online sangat disarankan selama pandemi virus corona yang terpenting kuncinya adalah transparansi. Namun, beberapa orang masih mempertanyakan hukum zakat online ini. Apakah sah?

Mengutip dari NU Online, e-zakat atau zakat online tidak bisa sah jika disalurkan oleh pihak yang tidak memahami seluk beluk zakat; Penyalurannya tidak melewati keharusan syara; dan zakat tersebut disalurkan di luar wilayah tempat muzakki (orang yang mengeluarkan zakat) tinggal.

Menurut KH Yahya Zainul Ma’arif atau yang akrab disapa Buya Yahya hukum zakat online itu boleh. Namun, Buya Yahya mengingatkan penyedia layanan zakat online harus amanah. Selain itu, kita sebagai muzzaki harus tahu dan mengenal lembaga penyalurnya, serta adil dalam membagikannya. Oleh pihak amil uang yang terdengar aneh biasanya dibelikan beras baru disampaikan kepada pihak penerima zakat. 

Direktur Badan Amil Zakat Nasional Irfan Syauqi Beik termasuk salah satu tokoh yang membolehkan membayar zakat secara online. Dilansir suara.com, dalam konteks transaksi komersial, ijab dan qabul menjadi suatu keharusan, namun pelaksanaannya sangat kontekstual. Pembayaran zakat tidak harus tatap muka, bisa dilakukan melalui media lainnya.

Alhasil, hukum zakat online ini sah apabila memenuhi kriteria seperti yang sudah dijelaskan di atas. Kemudian untuk masalah berjabat tangan, itu bukan merupakan dasar ketentuan pokok wajibnya serah terima zakat. Yang terpenting dalam zakat, adalah bahwa harta itu diserahkan kepada petugas, atau kepada orang yang masuk dalam asnaf zakat sehingga terjadi perpindahan kepemilikan. Illat yang menjadi sahnya akad ini adalah tidak adanya ketentuan dalam zakat berupa ijab dan qabul, melainkan hanya niat dari pemiliknya. Jika ijab dan qabul saja bukan merupakan ketentuan mutlak, apalagi berjabat tangan. Wallahu a’lam bi al-shawab.

DAFTAR PUSTAKA

  • Darwis, Satibi. (2019, Mei 24). Fiqih Zakat Maal dan Zakat Fitrah. Di Akses Mei 07, 2021, dari Tafakul Keluarga: https://takaful.co.id/2019/05/24/fiqih-zakat-maal-dan-zakat-fitrah/
  • Era.id. (2020, Mei 19). Hukum Zakat Online dan Berapa Biaya yang Harus Dikeluarkan. Di Akses Mei 12, 2021, dari Era.id: https://era.id/afair/30373/hukum-zakat-online-dan-berapa-biaya-yang-harus dikeluarkan#:~:text=Dikutip%20dari%20NU%20Online%2C%20e,orang%20yang%20mengeluarkan%20zakat)%20tinggal.
  • Irham, Muhammad. (2020, April 23). Virus corona dan zakat ‘online’: Pandemi Covid-19 ubah tata cara membayar dan menyalurkan zakat, ‘Apakah sah bayar zakat tanpa bersalaman?’. Di Akses Mei 07, 2021, dari BBC News Indonesia: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-52380332
  • Liputan6.com. (2020, Mei 10). Bagaimana Serah Terima Zakat Fitrah Tanpa Salaman di Tengah Pandemi Covid-19. Di Akses Mei 07, 2021, dari Liputan6.com: https://www.liputan6.com/ramadan/read/4245411/bagaimana-serah-terima-zakat-fitrah-tanpa-salaman-di-tengah-pandemi-covid-19
  • Mas’udi, Masdar. (1993). Agama Keadilan Risalah Zakat (Pajak) Dalam Islam. Cet ke-3 (Jakarta: Pustaka Firdaus), 34.
  • Syamsudin, Muhammad. (2020, April 19). Mempercepat Zakat Mal dan Fitrah menurut Hukum Islam. Di Akses Mei 12, 2021, dari NU Online: https://islam.nu.or.id/post/read/119242/mempercepat-zakat-mal-dan-fitrah-menurut-hukum-islam
  • Undang-undang No 23 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Zakat, Pasal 3.


FOSEI UNSOED

Akun Official KSEI FOSEI Universitas Jenderal Soedirman