MASIGNCLEAN101

Optimalisasi Industry Obat-Obatan Halal Perkuat Ekonomi Syariah Indonesia

6/12/2020

OPTIMALISASI INDUSTRY OBAT-OBATAN HALAL PERKUAT EKONOMI SYARIAH INDONESIA

Oleh: Departemen HRD


Bagaimana jika sebuah negara berpenduduk muslim terbesar didunia namun kebutuhan konsumsi untuk masyarakat tidak terjamin kehalalanya? atau tidak ada pihak yang dapat memastikan bahwa bahan baku dan produk jadi yang beredar dipasaran terjamin kehalalannya?. Padahal di satu sisi umat muslim dituntut untuk mengonsumsi produk yang halal, mulai dari bahan baku, proses pembuatan sampai produk siap konsumsi. Oleh karena itu umat islam dituntut untuk mencari solusi atas permasalahan tersebut.

Industri obat-obatan halal menjadi salah satu industri yang pada tahun ini ramai diperbincangkan. Sudah banyak ditemukan obat-obatan yang tidak mengandung unsur halal beredar di masyarakat. Salah satu kandungannya terdapat unsur lemak babi pada obat tersebut. Dalam agama islam, bahan obat-obatan yang mengandung babi, alkohol, organ tubuh manusia, ari-ari, air seni dan hewan yang disembelih tidak dengan cara islam hukumnya adalah haram. Data LPPOM MUI menunjukkan bahwa sampai saat ini baru 34 jenis obat yang memiliki sertifikat halal dari sekitar 30 ribu jenis obat yang beredar di masyarakat. Minimnya obat bersertifikat halal tersebut membuktikan kurang pedulinya pemerintah,industri, dan masyarakat terkait status halal dan haram obat-obatan yang beredar.

Pemeritah terus berupaya dan menjamin akan menyelesaikan masalah ini. Terbukti pada tahun 2014 pemerintah telah mengesahakan UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Setelah 5 tahun disahkan, Jaminan Produk Halal mulai dilaksanakan pada tanggal 17 Oktober 2019, Jaminan Produk Halal mulai diselenggarakan oleh pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama. UU yang terdiri atas 68 pasal itu menegaskan, bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.
Tujuan dibuatnya UU tersebut sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 3, bahwa Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal bertujuan untuk memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan produk. Selain itu juga untuk meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha guna memproduksi dan menjual produk halal. Hal ini akan sangat bermanfaat bagi masyarakat muslim di Indonesia.

Namun UU JPH akan sulit untuk diimplementasikan di industri farmasi dan obat-obatan. Alasannya karena industri ini berbeda dengan industri yang lain. Industri farmasi dan obat-obatan membutuhkan proses produksi yang lebih rumit. Karena kita harus memperhatikan dari segi khasiat yang layak digunakan sebagai obat melalui proses uji coba dan proses kimiawi lainnya yang tentunya hanya dipahami oleh dunia medis. Selama ini bahan baku farmasi dan obat-obatan di Indonesia 96% diimport dari luar negeri seperti Tiongkok, Korea, India, dan Amerika. Bisa kita pahami dari data tersebut menunjukan bahwa masih lemahnya industri farmasi di Indonesia.

Industri farmasi di Indonesia masih mengikuti gaya dunia medis negara-negara barat yang tidak memperhatikan konsep kehalalannya, tetapi hal ini tidak seratus persen salah. Sampai saat ini penelitian-penelitian mereka terbukti berhasil menjadi solusi dari berbagai penyakit yang ada. Dengan adanya UU JPH ini, membuat industri farmasi dan obat-obatan perlu bekerja keras dalam menemukan alternatif lain dengan bahan baku yang halal. Karena proses dalam sintesis obat, pembuatan vaksin dan sediaaan farmasi sangat rumit, mahal, ketat dan kompleks serta bahan aktif, eksipien, dan bahan penolong untuk obat yang sangat banyak, bervariasi dan bersifat kompleks. Maka hal ini membutuhkan waktu, pemikiran serta biaya yang besar.

Masyarakat kita memiliki perbedaan pendapat mengenai hal tersebut. Beberapa orang tidak terlalu mempedulikan antara halal atau haramnya suatu obat karena sifatnya darurat dan menyangkut kesehatan manusia. Hal ini dipengaruhi beberapa obat di klaim mempunyai khasiat yang lebih bagus bila menggunakan bahan tertentu saja. Di sisi lain banyak juga yang beranggapan cap halal itu adalah sesuatu yang harus diadakan karena jika kita melihat dari sumber hukum islam yang mengacu pada sebuah hadits nabi yang artinya:

“sesungguhnya Alloh subhanahu wata’ala telah menurunkan penyakit dan menurunkan obat, serta menyediakan obat bagi setiap penyakit, maka berobatlah, dan jangan berobat dengan sesuatu yang haram.” (HR. Abu Daud)

Jika ditinjau kembali, konsep darurat dalam pengobatan itu adalah:

  1. Terdapat bahaya yang mengancam kehidupan manusia jika tidak berobat.
  2. Tidak ada obat lain yang halal sebagai ganti obat yang haram.
  3. Adanya suatu pernyataan dari seorang dokter muslim yang dapat dipercaya, baik pemeriksaannya maupun agamanya (i'tikad baiknya).


Konsep darurat ini berlaku di Indonesia pada penggunaan vaksin. Selama belum ada bahan pengganti yang halal maka dibolehkan sesuai kaidah darurat tersebut. Artinya selama industri farmasi masih bisa mengupayakan adanya obat-obatan halal maka harus dibuat sesegera mungkin. Begitu pula masyarakat perlu memahami bahwa kita tidak bisa langsung menganggap semua obat itu boleh dikonsumsi.

Upaya mendukung perubahan ini, maka kita membutuhkan peran penting dari semua pihak untuk menjamin tersedianya “obat-obatan halal”. Industri farmasi dan obat-obatan sebagai pelaku dan penyedia obat didorong untuk melakukan sertifikasi halal produknya walaupun itu sulit dilakukan. Diperlukan adanya kerjasama antara akademisi dan peniliti dalam melakukan riset untuk menemukan bahan tambahan obat dari sumber yang halal. Pemerintah juga harus mempermudah dan mendorong semua pihak agar terlibat aktif untuk mewujudkan jaminan produk halal.

Apabila kita melihat pasar ekonomi syariah secara global, adanya sertifikasi halal baik itu di negara Islam atau di negara non Islam saat ini tidak lagi sebatas upaya perlindungan bagi umat Islam terhadap zat halal dan haram. Akan tetapi sertifikasi halal ini menjadi pangsa pasar baru bagi para produsen. Sertifikasi halal menjadi nilai tambah tersendiri bagi suatu produk yang bisa meningkatkan nilai ekonomi bagi para produsen. Hal ini dapat terlihat dari beberapa negara dengan kondisi umat muslim yang minim tetapi telah memberlakukan sertifikasi halal pada produknya. Contohnya seperti negara Perancis, Thailand, Amerika Serikat, Jepang, Kanada dan beberapa negara sekuler lainnya. Hal ini merupakan sebuah fakta konkrit bahwa persoalan sertifikasi halal kini telah menjadi suatu kebutuhan ekonomi.

Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia harusnya bisa menjadi pelopor adanya industri obat-obatan halal. Namun harus digaris bawahi bahwa tujuan utamanya adalah mengikuti ajaran agama bukan karena untuk mencari pasar yang lebih luas. Karena tidak bisa dipungkiri adanya jaminan halal akan memberikan rasa kenyamanan dan kepercayaan bagi masyarakat sehingga minat pembeli semakin bertambah.

Selain Indonesia ada beberapa negara berpenduduk muslim yang telah menggunakan sistem ekonomi syariah dan tidak menutup kemungkinan bahwa mereka juga ingin memperhatikan pentingnya kehalalan pada obat-obatan. Dengan adanya kesadaran ini, Indonesia dapat berkolaborasi dengan negara-negara tersebut untuk mengatasi permasalahan kehalalan obat agar produksi obat-obatan menggunakan bahan baku yang halal.

Potensi ekonomi syariah di Indonesia dapat meningkat karena didukung oleh kelengkapan kerangka hukum syariah. Dengan lahirnya Undang-undang Jaminan Produk Halal, tidak menutup kemungkinan munculnya aturan-aturan baru yang mendukung upaya pemerintah dalam mengoptimalkan industri obat-obatan halal yang masih sulit ini. Efek dari optimalnya perkembangan industri obat obatan halal dapat mendatangkan perusahaan besar dunia untuk berinvestasi pada industri produk halal yang ada di Indonesia. Selain itu, Indonesia memiliki banyak industri farmasi yang akan semakin mendukung peluang investasi tersebut. Namun seperti yang sudah dibahas sebelumnya masih banyak yang belum memiliki sertifikasi halal. Padahal kebutuhan akan konsumsi obat halal akan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk muslim.

Sumber


  • Husni, P., Putriana, N. A., & Wicaksono , I. A. (2017). Metode Deteksi Kandungan Babi dan Alkohol dalam Eksipien Farmasi dan Produk Obat untuk Menjamin Kehalalan Sediaan Obat. Majalah Farmasetika, 1-7.
  • Istikomah. (2019). PELUANG DAN TANTANGAN IMPLEMENTASI UU JPH (STUDI ANALISIS ATAS UU NO. 33 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL) . At-Tasharruf; Jurnal Kajian Ekonomi dan Bisnis Syariah , 18-28.
  • Jogloabang. (2019, Oktober 19). Dipetik Mei 8, 2020, dari https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-33-2014-jaminan-produk halal?amp#aoh=15891905661057&amp_ct=1589190584392&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com&amp_tf=Dari%20%251%24s
  • Nasrullah, A. (2016). Analisis Potensi Industri Halal Bagi Pelaku Usaha Di Indonesia. 50-78.
  • Putriana, N. A. (2016). Apakah Obat yang Kita Konsumsi Saat Ini Sudah halal? Majalah Farmasetika, 12-14.
FOSEI UNSOED

Akun Official KSEI FOSEI Universitas Jenderal Soedirman