BISNIS MLM DALAM PERSPEKTIF FIQIH MUAMALAH
Oleh: Top Management (President, Vice President, Secretary & Treasury)
Bisnis Multi Level Marketing (MLM) memliki peran cukup penting dalam menggerakan roda perekonomian masyarakat. Bisnis ini pilihan yang tepat bagi masyarakat yang ingin mendapatkan penghasilan tambahan sebagai usaha sampingan, atau dapat juga dijadikan sebagai mata pencaharian utama. Salah satu hal yang di dapatkan jika menekuni bisnis ini adalah adanya bonus dan passive income yang menggiurkan. Saat ini, bisnis sejenis ini sedang populer, karena di dorong oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang memudahkan dalam proses pembentukan jaringan. Prinsip bisnis dalam MLM ini sangat tergantung pada sistem jaringan pemasaran (marketing network).
Secara etimologi Multi Level Marketing (MLM) berarti pemasaran yang berjenjang banyak (Harefa,1999: 4). MLM merupakan salah satu metode dalam penjualan yang dapat dipilih oleh perusahaan dalam memasarkan produknya. Dalam bisnis MLM, pelanggan dapat sekaligus diberdayakan untuk melaksanakan tugas pemasaran atau pendistribusian produk secara mandiri tanpa campur tangan langsung dari perusahaan. Timbal baliknya dalam bentuk potongan harga, komisi, atau insentif yang telah ditetapkan oleh perusahaan produsen secara berjenjang sesuai dengan jumlah nilai penjualan (biasanya disebut volume point atau bussiness point) yang diberitahukan kepada distributor independen di awal masa pendaftaran (Harefa, 1999: 4). Dengan kata lain Multi Level Marketing dapat dikatakan sebagai pemasaran yang dilakukan melalui banyak level atau tingkatan, yang sering dikenal dengan istilah up line (tingkat atas) dan down line (tingkat bawah). Upline (promotor) adalah anggota yang sudah lebih dulu menjadi anggota, sedangkan bawahan (downline) adalah anggota baru yang mendaftar atau berhasil direkrut oleh promotor. Jenjang keanggotaan dalam MLM ini bisa berubah-ubah, sesuai dengan syarat pembayaran atau pembelian tertentu yang sudah ditetapkan oleh perusahaan.
Bisnis MLM juga disebut sebagai network marketing. MLM disebut sebagai network marketing karena anggota dari kelompok tersebut dapat tumbuh semakin banyak. Sehingga terbentuk sebuah jaringan kerja (network) yang merupakan suatu sistem pemasaran dengan menggunakan jaringan kerja dari banyak orang yang melakukan pemasaran. Beberapa orang juga ada yang menyebut MLM sebagai bisnis penjualan langsung atau direct selling. Sebagian orang menyatakan MLM sebagai bisnis penjualan langsung atau direct selling. Pandangan ini di dasarkan pada pelaksanaan penjualan MLM yang dilakukan secara langsung oleh penjual kepada konsumen. Aktifitas penjualan tersebut dilakukan oleh seorang penjual yang disertai dengan beberapa hal seperti: penjelasan, presentase dan demo produk. Saat ini, di Indonesia, penjualan langsung atau direct selling baik yang single level sampai multi level tergabung dalam sebuah asosiasi yaitu Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI). APLI merupakan anggota KADIN, yang menjadi bagian dari World Federation Direct selling Association (WFDSA) (Dewi dkk,: 144).
Hal yang menarik dari MLM adalah menentukan cara untuk menjual produk dari suatu perusahaan melalui inovasi agar produk dapat terjual dengan lebih efisien dan efektif ke pasar. Dalam syariat Islam, hukum asal jual beli adalah mubah. Hal ini selaras dengan kaidah:
“Hukum asal dalam muamalah adalah kebolehan sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya.”
Islam memahami bahwa seiring berjalannya waktu perkembangan budaya bisnis juga berjalan begitu cepat dan dinamis. Berdasarkan kaidah diatas dapat terlihat bahwa Islam memberikan jalan dan kebebasan bagi manusia dalam melakukan berbagai improvisasi maupun inovasi melalui sistem, teknik, dan mediasi dalam bermuamalah. Namun, Islam juga memberi rambu-rambu bagi setiap pelaku bisnis agar tidak keluar dari syaiah. Bisnis yang dilakukan oleh setiap pelaku bisnis harus menjauhi unsur riba, gharar atau ketidakjelasan, dharar atau merugikan/mendzalimi pihak lain, dan jahalah atau tidak transparan (Dewi, 2006:183). Dilihat dari sistem dan akadnya, MLM, tidak ada yang bertentangan dengan prinsip-prinsip yang terdapat dalam syariat Islam. Bahkan terkadang dalam bisnis MLM ini terdapat unsur-unsur yang positif, seperti, unsur silaturrahim, dakwah, dan tarbiyah (Muslich, 2010:615).
Dalam bisnis MLM tidak menitikberatkan pada penjualan produk barang saja, tetapi juga dengan jasa, yaitu jasa marketing bertingkat (level) dengan timbal balik berupa fee, bonus, hadiah dan sebagainya, tergantung pada prestasi dan level seorang anggota. Jasa marketing tersebut dapat dikategorikan sebagai perantara antara produsen dan konsumen. Dalam istilah fiqih hal ini disebut samsarah atau simsar. Menurut Sayyid Sabiq, Simsar adalah orang yang menjadi perantara antara penjual dan pembeli untuk mempermudah pelaksanaan jual beli.
Kegiatan samsarah (perantara) dalam bentuk distributor, agen, member, atau mitra niaga termasuk dalam akad Ijarah, yaitu transaksi yang memanfaatkkan tenaga dan jasa orang lain dengan imbalan atau ujrah. Akad samsarah ini hukumnya diperbolehkan oleh para ulama, seperti Ibnu Sirin, ‘Atha’, Ibrahim, Hasan, dan Ibnu Abbas. Demikian pula pemberian imbalan atas tenaga dan jasa orang lain hukumnya jelas diperbolehkan dalam skema akad ijarah (Muslich, 2010:616).
Perusahaan MLM biasanya memberikan reward atau intensif kepada anggota yang berpretasi. Insentif atau Bonus dalam MLM (Muslich, 2010:617)
Dari sisi konvensional, insentif atau bonus yang diberikan harus memperhatikan 2 kriteria:
- Prestasi penjualan produk
- Banyaknya down line yang dibina, sehingga ikut menyukseskan kinerjanya.
Sedangkan dari sisi syariah, pemberian insentif harus memenuhi 3 syarat, yaitu:
- Adil, bonus yang diberikan kepada up line tidak boleh mengurangi hak orang lain yang berada di bawahnya (down line), sehingga tidak ada yang di dzalimi.
- Terbuka, pemberian insentif harus terbuka dan diinformasikan kepada seluruh anggota, bahkan mereka harus diajak dalam musyawarah untuk menentukan insentif dan pembagiannya.
- Berorientasi kepada al-falah (keuntungan dunia akhirat). Keuntungan dunia adalah keuntungan yang bersifat materi. Sedangkan keuntungan akhirat adalah kegiatan bisnis yang dijalankan sebagai ibadah kepada Allah SWT.
Saat ini perusahaan MLM sudah banyak tumbuh dan berkembang, baik di dalam maupun di luar negeri. Bahkan di Indonesia sendiri sudah ada perusahaan yang secara langsung menyatakan bahwa MLM tersebut sesuai syariat dan telah mendapatkan sertifikasi halal dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI). Namun, MLM yang berbasis syariah ini, masih memerlukan akuntabilitas dari MUI. Terdapat dua aspek yang bisa menilai apakah bisnis MLM itu sudah sesuai dengan syariah atau tidak yaitu, (1) Aspek produk atau jasa yang dijual, (2) Sistem dari MLM itu sendiri.
Dari sisi aspek produk yang dijual, produk harus halal, memiliki manfaat dan dapat diserah terimakan serta mempunyai harga yang jelas. MLM yang dikelola oleh seorang muslim, jika objeknya tidak memenuhi syarat diatas, hukumnya tidak sah. Adapun dari sisi aspek sistem, pada hakikatnya MLM yang berbasis syariah tidak memiliki perbedaan yang jauh dengan MLM konvensional. Hal yang menjadi pembeda terletak pada bentuk usaha atau jasa yang harus memenuhi hal-hal sebagai berikut: pertama, produk yang dipasarkan harus halal, baik, dan menjauhi syubhat. Kedua, sistem akadnya harus memenuhi kaidah dan rukun jual beli sebagaimana yang terdapat dalam hukum Islam. Ketiga, Operasional, kebijakan, budaya organisasi, maupun sistem akuntansinya harus sesuai dengan syari’ah. Keempat, tidak boleh ada mark up harga produk yang berlebihan, sehingga membuat anggota terzalimi karena harga yang amat mahal, tidak sepadan dengan kualitas dan manfaat yang diperoleh. Kelima, dalam struktur organisasinya, harus ada Dewan Pengawas Syari’ah (DPS).
Selanjutnya, formula insentif yang di atur perusahaan harus adil, tidak menzalimi down line dan tidak membiarkan up line menerima pasif income tanpa bekerja, up line tidak boleh menerima income dari hasil jerih payah down linenya. Bonus yang dibagikan kepada para anggota harus sesuai dengan usaha masing-masing anggota. Tidak boleh ada eksploitasi dalam aturan pembagian bonus antara anggota yang lebih dulu bergabung dengan anggota yang baru bergabung. Oleh karena itu, aturan pembagian bonus yang diberikan kepada anggota harus jelas angka nisbahnya sejak awal. Pemberian reward atau penghargaan kepada anggota yang berprestasi tidak boleh dengan berhura-hura dan pesta pora. Selain itu, perusahaan MLM juga harus memiliki orientasi pada kemaslahatan ekonomi ummat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa MLM adalah salah satu metode penjualan produk yang belakangan ini banyak digunakan karena dianggap efektif. Dalam menyikapi bisnis MLM, diperlukan wawasan serta pemahaman yang baik, benar dan utuh. Sehingga bisnis ini dapat berjalan dengan tetap berpegang pada prinsip syariah. Semua bentuk bisnis, termasuk MLM, pada dasarnya adalah boleh jika tidak ada hal-hal yang dilarang oleh syariah. Namun, jika mengandung unsur-unsur yang diharamkan syariat, maka hukum bisnis tersebut bisa berubah menjadi haram. Agar sesuai dengan syariah, bisnis harus terbebas dari 5 unsur yaitu Maysir, Gharar, Riba, Haram dan Bathil.
DAFTAR PUSTAKA
- Ahmad Mardalis, N. H. (2016). Multi-Level Mrketing (MLM) Perspektif Ekonomi Islam. Vol. 1, No. 1, 19-37.
- Bahruddin, M. (2011). Multi Level Marketing (MLM) dalam Prespektif Hukum Islam. ASAS, Vol. 3, No.1, 65 - 79.
- Dewi, G. (Tanpa Tahun). Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media.
- Harefa, A. (1999). Multi Level Marketing: Alternatif Karier dan Usaha Menyongsong Millenium Ketiga. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
- Muslich, A. W. (2015). Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah.
- Rozalinda. (2012, June 13). Multi Level Marketing (MLM) Perspektif Hukum Islam. Retrieved from Rozalinda's Weblog: https://rozalinda.wordpress.com
- Sasongko, F. N. (2019). Sstem Multi Level Marketing dalam Prespektif Hukum Islam dan Undang-Undang No. 7 tahun 2014 pada PT Moment Global Internasional. Surabaya: Universitas Islam Negeri Sunan Ampel .
comment 0 Comment
more_vert