8/13/2020
Terpaksa untuk Rela
Oleh: Daffa Redika
Department of Research
Seorang muslim ketika sedang bermuamlah selalu dilandasi konsep kerelaan dan keadilan yang senantiasa melekat pada setiap transaksinya. Prinsip kerelaan tersebut sudah tertuang pada QS An Nisa: 29:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًاArtinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
Berniaga merupakan jalan keluar dari mencari rezeki yang tidak halal meskipun demikian, perniagaan masih memiliki aturan dalam mekanismenya. Allah telah menerangkan dengan gamblang di dalam kalamnya di atas bahwa, seorang yang beriman dilarang memakan harta lewat jalan yang batil. Batil memiliki arti yaitu kemungkaran (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa , 2016). Kata tersebut jika dikaitkan dengan ayat di atas sudah sebenarnya sudah membawa pesan, agar kita selalu mencari harta dari yang halal saja. Kata An taradi bermakna senang, kata tersebut terbentuk dari ism yang memiliki makna lebih spesifik daripada ikhtiyar yang bermakna menguatkan pilihan dan iradah yang bermakna memiliki kehendak (Mughits, 2017). Makna tersebut tentunya memberi tahu kepada kita agar keberkahan dalam berniaga selalu ada dalam sisi kehidupan kita. Nilai kerelaan mengimplikasikan beberapa kriteria untuk meyakinkan seseorang supaya bertransaksi di atas kerelaan kriteria pertama yaitu niat baik pada saat bertransaksi, kriteria kedua menolak unsur kebatilan, dan kriteria ketiga adalah bersikap jujur ketika bertransaksi (Rohman, 2016). Sikap-sikap tersebut penting untuk diaplikasikan ketika bermuamalah khususnya jual beli, ketika seseorang tidak setuju atau merasa keberatan dengan apa yang hendak ia transaksikan maka bisa mengambil khiyar yang berarti menguatkan pilihan untuk membatalkan atau sebaliknya. Namun, di dalam konsep muamalah juga memiliki batasan dalam jenis transaksi yang diperbolehkan.
Kita mengetahui bahwa kaidah muamalah adalah semua boleh kecuali ada dalil yang telah melarangnya, sehingga dapat menghapus nilai kebolehan atas muamalah tersebut. Penghapusan kebolehan bermuamalah secara umum memeliki tiga nilai spesifik yaitu melanggar nilai An Taradi Minkum, La Tadz Limun Wa La Tudzlamun, dan tidak lengkap akadnya (Sa'adah Yuliana, 2017). Permasalahan dalam pembahasan ini akan difokuskan pada pelanggaran prinsip pertama yaitu hilangnya nilai kerelaan pada saat bertransaksi. Tujuan utama adanya kerelaan adalah agar para pelaku transaksi tersebut mendapat informasi yang lengkap, sehingga tidak ada yang merasa dicurangi atau ditipu (Sa'adah Yuliana, 2017). Kejelasan informasi tersebut yang nantinya akan menjadi penentu bahwa seseorang itu rela atau tidak, tetapi dalam bermuamalah seringkali kita dihadapkan dengan sebuah permasalahan keadaan darurat yang membuat kita tidak tidak ada pilihan selain melanjutkan transaksi tersebut. Ada banyak contoh akad yang dilarang dalam Islam seperti riba, berjudi, dan lainnya. Dengan demikian, apakah dengan kedaruratan dapat merubah ketidak bolehan akad yang memaksa?
Unsur kerelaan merupakan hal yang konkret dalam mekanismenya, terlaksananya kerelaan adalah dengan sighat dan pertukaran. Namun, bukan berarti dengan adanya kerelaan diantara pemangku kepentingan tersebut dapat dengan mudah mengubah hukum akad yang dilarang menjadi diperbolehkan. Hal itu didasari dengan penjelasan bahwa at taradi adalah hukum wadi’ atau pendukung hukum taklifi yang sudah memiliki wilayahnya sendiri, sehingga tidak bisa untuk dicampur dengan hukum lainnya, kecuali dalam penerapan prinsip bermuamalah salah satunya at taradi yang diharuskan untuk memiliki prinsip tersebut untuk akad-akad yang halal saja, sedangkan untuk akad-akad yang haram adalah hukum taklifi yang sudah memiliki hukum wadi’ nya tersendiri, sehingga tidak dapat dijadikan satu diantara keduanya (Mughits, 2017). Pembahasan yang lebih dalam adalah ketika seseorang berakad di tengah keadaan darurat sehingga ia terpaksa merelakan hatinya untuk menjalankan akad tersebut, kita ambil contoh mengenai ada orang yang memiliki kebutuhan sangat mendesak misalkan membeli obat bagi anaknya yang sakit, apabila tidak diobati bisa mengancam nyawanya. Ia tidak memiliki uang sama sekali dan sudah mencoba mencari pinjaman tanpa riba, tetapi tidak mendapatkannya. Akihirnya, ia dengan terpaksa rela untuk meminjam ke seorang kreditur yang memiliki bunga dalam utang-piutangnya.
Kita mengetahui bersama bahwa ada hadist pelaknatan terhadap pelaku riba yaitu:
عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌArtinya: Dari Jabir Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, penulisnya dan dua saksinya”, dan Beliau n bersabda, “Mereka itu sama.” [HR. Muslim, no. 4177]
Keadaan memaksa bukan berarti prinsip an taradiminkum menjadikan hukum riba boleh, karena prinsip tersebut pada keadaan seperti itu bukan muncul secara alami, tetapi karena sebuah pilihan yang memaksa (Mughits, 2017). Oleh karena itu, dalam pembahasan hal ini bukan lagi menitik beratkan pada prinsip, tetapi pada kedaruratan keadaan sehingga sebuah akad dapat dilaksanakan.
Perlu diingat bahwa, ketika seseorang melaksanakan akad dalam darurat sehingga terpaksa ia harus melewati batasan-batasan dalam Islam ada syarat-syarat yang perlu ia pahami tentang keterpaksaan yaitu:
- Darurat semata-mata benar-benar terjadi, akan terjadi, dan bukan asumsi saja.
- Tidak ada jalan lain selain menjalankan jalan tersebut supaya mudharat yang ia terima bisa hilang.
- Jiwanya benar-benar terancam jika tidak melakukan hal tersebut.
- Keperluannya hanya sebatas menghilangkan sifat daruratnya saja.
- Keharaman yang ia lakukan tidak merugikan orang lain, kecuali memang tidak ada jalan lain dan diakhir ia harus mempertanggungjawabkan harta tersebut. (Roni Nuryusmansyah dan Ust. Muhammad Yassir, 2013)
Keadaan tersebut hanya boleh dilaksanakan sebatas menghilangkan rasa daruratnya, riba tetap haram sebagaimana haramnya bangkai, meskipun sudah rela an taradiminkum. Artinya dosa tersebut bagi si debitur tetap ada, tetapi keadaan yang terpaksa, sudah mencari kemana-mana, dan hanya memiliki satu solusi maka berlaku kaidah darurat yang berarti perilakunya dimaafkan.
Wallahua’lam.
Refrensi
- al-Atsari, U. A. (2014). Riba, Dosa Besar Yang Menghancurkan. Dipetik Agustus 09, 2020, dari https://almanhaj.or.id/4231-riba-dosa-besar-yang-menghancurkan.html
- Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa . (2016). KBBI Daring. Dipetik Agustus 08, 2020, dari https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Batil
- Mughits, A. (2017). Penerapan Prinsip At Taradi dalam Akad-Akad Muamalat . APLIKASIA: Jurnal Aplikasi Ilmu-Ilmu Agama, 17(1), 49-61.
- Rohman, A. (2016). MENYOAL FILOSOFI ‘AN TARADIN PADA AKAD JUAL BELI (Kajian Hukum Ekonomi Syariah dalam Transaksi Jual Beli) . At-Tijarie, 3(2), 34-50.
- Roni Nuryusmansyah dan Ust. Muhammad Yassir, L. (2013). Kaidah Fiqih: Dalam Kondisi Darurat Hal Yang Terlarang Dibolehkan. Dipetik Agustus 09, 2020, dari https://muslim.or.id/19369-dalam-kondisi-darurat-hal-yang-terlarang-dibolehkan.html
- Sa'adah Yuliana, N. T. (2017). Transaksi dan Bisnis Menurut Islam. Dalam A. d. Roji (Penyunt.), Transaksi Ekonomi dan Bisnis dalam Tinjauan Fiqh Muamalah (hal. 49-53). Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta.
- TafsirQ. (2020). TafsirQ. Dipetik Agustus 08, 2020, dari https://tafsirq.com/4-an-nisa/ayat-29
comment 0 Comment
more_vert