MASIGNCLEAN101

Green Finance

12/23/2022

 

Ekonomi Hijau dan Ekonomi Islam Beriringan untuk Satu Tujuan

Perkembangan ilmu ekonomi terus berlanjut dari waktu ke waktu. Terdapat berbagai macam hal yang melatar belakangi penyebab perkembangan ekonomi. Salah satunya adalah ekonomi hijau atau green economy. Pertumbuhan ekonomi hijau merupakan pertumbuhan ekonomi yang tangguh dengan tidak mengesampingkan permasalahan lingkungan, mengedepankan pembangunan rendah karbon serta inklusif secara sosial. Green economy sebagai kegiatan ekonomi yang dapat menciptakan kesejahteraan masyarakat melalui pembatasan sumber daya alam dan rendah karbon.

Masyarakat yang inklusif secara sosial didefinisikan sebagai sebuah masyarakat di mana semua orang merasa dihargai, perbedaan mereka dihormati, dan kebutuhan dasar mereka terpenuhi sehingga mereka dapat hidup bermartabat (Cappo & Board, 2002). Program Pertumbuhan Ekonomi Hijau berusaha merencanakan dan merancang proyek dan kegiatan ekonomi hijau yang dapat secara langsung memberi akses yang lebih baik dan berkelanjutan terhadap berbagai layanan dasar dan sumber daya, serta penciptaan lapangan kerja hijau sambil memastikan perlindungan, pengurangan kemiskinan dan inklusi sosial.

Alasan utama munculnya konsep ekonomi hijau dan pertumbuhan hijau adalah gerakan menuju pendekatan yang lebih terintegrasi dan komprehensif untuk menggabungkan faktor sosial dan lingkungan dalam proses ekonomi, demi mencapai pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, pertumbuhan hijau (green growth) adalah pertumbuhan ekonomi yang berkontribusi terhadap penggunaan modal alam secara bertanggung jawab, mencegah dan mengurangi polusi, dan menciptakan peluang untuk meningkatkan kesejahteraan sosial secara keseluruhan dengan membangun ekonomi hijau (green economy), dan akhirnya memungkinkan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Sedangkan, Ekonomi Islam memiliki tujuan untuk  memecahkan masalah ekonomi melalui pemberdayaan dan perwujudan ekonomi Islam, dengan mempertimbangkan masalah distribusi pendapatan, ketimpangan ekonomi dan industrialisasi (Iskandar, 2018). Hal tersebut didasari atas munculnya disparitas ekonomi yang muncul, karena iming-iming konsep trickle down effect (Aghion & Bolton, 1997), para elit ekonomi besar memiliki keistimewaan untuk mengelola sumber daya ekonomi yang sangat besar dengan harapan dapat berdampak pada kesejahteraan rakyat. Masalah tersebut ditandai dengan kesenjangan ekonomi antara kelompok kaya dan miskin. Hal ini ditunjukkan dengan kenaikan koefisien gini. Koefisien gini menjadi indikator yang menunjukkan disparitas pendapatan secara keseluruhan. Berkisar dari 0 sampai 1, dengan nilai 0 berarti pemerataan ekonomi yang sempurna ketika setiap orang memperoleh pendapatan yang sama (Arize, Bakarezos, Kallianiotis, Malindretos, & Phelan, 2018).

Ekonomi islam mempunyai ciri khas yang sangat berbeda dari ekonomi konvensional salah satunya adalah penerapan maqashid syariah pada setiap unsur unsur ekonomi islam yang tidak ada pada ekonomi konvensional seperti pemeliharanan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta, pemeliharaan maqasid syariah ini akan membawa ekonomi islam menuju jati diri ekonomi islam sebagai sistem yang membawa kemaslahatan pada setiap manusia. Ekonomi Islam sebagai arus baru ekonomi Indonesia pada gilirannya telah memberikan kontribusi positif bagi pembangunan nasional di Indonesia. Dukungan kelembagaan sistem ekonomi syariah seperti yang ditunjukkan oleh Bank Indonesia, Badan Wakaf Indonesia, Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), dan Dewan Syariah Nasional telah meningkatkan minat masyarakat terhadap ekonomi Islam. Sebagai kekuatan ekonomi baru di Indonesia, ekonomi Islam tidak hanya mendapat dukungan positif dari masyarakat tetapi juga menghadapi tantangan.

Mengenai distribusi kekayaan, Islam mengajarkan bahwa kesejahteraan dan kekayaan tidak boleh dimiliki oleh komunitas tertentu tetapi harus dibagi kepada semua orang secara adil dan proporsional (Aprianto, 2016). Ini menolak klaim keberhasilan ekonomi pasar. Ekonomi Islam di Indonesia telah didirikan dan dijalankan oleh umat Islam Indonesia. Pemerintah seolah setengah hati dengan kebijakan dan instrumen keuangannya untuk mensinkronkan ekonomi Islam. Namun, setidaknya kebijakan moneter dan fiskal pemerintah telah melibatkan prinsip-prinsip moneter dan fiskal Islam. Pengeluaran negara dan kestabilan moneter perlu diimbangi dengan peran umat Islam dalam pembangunan nasional. Kebijakan distribusi pendapatan yang adil tidak akan hadir jika pemerintah gagal bertindak sebagai pengatur pembangunan dan kesejahteraan (Aprianto, 2016; Fadlan, 2010; Bahri S, 2016).

Dengan demikian, ekonomi hijau dan ekonomi Islam pada dasarnya dibangun dari perbedaan filosofi yang ada. Pada ekonomi hijau pengembangan keilmuannya tersebut difokuskan pada perubahan iklim dan pemanasan global yang terjadi di bumi dan pengurangan emisi karbon. Pengembangan tersebut bukan berarti mengakibatkan pengesampingan berbagai macama fokus ekonomi lainnya. Pada ekonomi hijau tetap memiliki tujuan untuk membangun peradaban manusia yang lebih maju dengan memperhatikan kesejahteraan yang dimiliki. Sedangkan pada Ekonomi Islam dibangun atas dasar terjadinya ketimpangan dan kesenjangan ekonomi yang terjadi di masyarakat. Hal tersebut ditunjukkan dengan tinggi angka disparitas ekonomi melalui koefisien gini. Alasan tersebut yang menyebabkan perlunya ide baru dalam memperbaiki kondisi ekonomi di tengah masyarakat yaitu ekonomi Islam. Berdasrkan uraian dari kedua penjelasan di atas maka, ekonomi hijau dan ekonomi Islam keduanya tidak dibangun dari dasar yang sama, tetapi keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu untuk kesejahteraan masyarakat, sehingga keduanya sebenarnya dapat berjalan bersamaan dan beriringan. Apabila diperhatikan dengan lebih dan saksama lagi dengan adanya penerapan kedua sudut pandang perekonomian tersebut dapat mengentaskan permasalahan disparitas ekonomi yang terjadi, sekaligus memiliki fokus untuk menjaga kondisi iklim di bumi.

 









Referensi

Kasztelan, A. (2017). Green growth, green economy and sustainable development: terminological and relational discourse. Prague Economic Papers, 26(4), 487-499.

Cappo, D., & Board, S. I. (2002, November). Social inclusion initiative. In Social inclusion, participation and empowerment. Address to Australian Council of Social Services National Congress (pp. 28-29).

Iskandar, I. (2018). Islamic Economics as A New Current of Economic Development in Indonesia. Muqtasid: Jurnal Ekonomi Dan Perbankan Syariah, 9(2), 150-158.

Aghion, P., & Bolton, P. (1997). A theory of trickle-down growth and development. The review of economic studies, 64(2), 151-172.

Arize, A. C., Bakarezos, P., Kallianiotis, I. N., Malindretos, J., & Phelan, J. (2018). The Gini Coefficient: An Application to Greece. International Journal of Economics and Finance, 10(3), 205-214.

Aprianto, N. E. K. (2016). Kebijakan Distribusi dalam Pembangunan Ekonomi Islam. Al-Amwal: Jurnal Ekonomi dan Perbankan Syari'ah, 8(2).

Fadlan, F. (2010). Konsep Pembangunan Ekonomi Berbasis Islam (Sebuah Upaya Pembangunan Ekonomi Indonesia yang Adil, Makmur, dan Sejahtera). Al-Ihkam: Jurnal Hukum & Pranata Sosial, 5(2), 257-274.

Bahri, A. (2016). Zakat Sebagai Instrumen Pembangunan Ekonomi Kesejahteraan Ummat. Jurnal Studi Ekonomi dan Bisnis Islam, I, 16(2), 74-88.

FOSEI UNSOED

Akun Official KSEI FOSEI Universitas Jenderal Soedirman