Ekonomi Hijau dan Ekonomi Islam Beriringan untuk Satu Tujuan
Perkembangan
ilmu ekonomi terus berlanjut dari waktu ke waktu. Terdapat berbagai macam hal
yang melatar belakangi penyebab perkembangan ekonomi. Salah satunya adalah
ekonomi hijau atau green economy. Pertumbuhan ekonomi hijau merupakan
pertumbuhan ekonomi yang tangguh dengan tidak mengesampingkan permasalahan
lingkungan, mengedepankan pembangunan rendah karbon serta inklusif secara
sosial. Green economy sebagai kegiatan ekonomi yang dapat menciptakan
kesejahteraan masyarakat melalui pembatasan sumber daya alam dan rendah karbon.
Masyarakat
yang inklusif secara sosial didefinisikan sebagai sebuah masyarakat di mana
semua orang merasa dihargai, perbedaan mereka dihormati, dan kebutuhan dasar
mereka terpenuhi sehingga mereka dapat hidup bermartabat (Cappo & Board,
2002). Program Pertumbuhan Ekonomi Hijau berusaha merencanakan dan merancang
proyek dan kegiatan ekonomi hijau yang dapat secara langsung memberi akses yang
lebih baik dan berkelanjutan terhadap berbagai layanan dasar dan sumber daya,
serta penciptaan lapangan kerja hijau sambil memastikan perlindungan,
pengurangan kemiskinan dan inklusi sosial.
Alasan
utama munculnya konsep ekonomi hijau dan pertumbuhan hijau adalah gerakan
menuju pendekatan yang lebih terintegrasi dan komprehensif untuk menggabungkan
faktor sosial dan lingkungan dalam proses ekonomi, demi mencapai pembangunan
berkelanjutan. Oleh karena itu, pertumbuhan hijau (green growth) adalah
pertumbuhan ekonomi yang berkontribusi terhadap penggunaan modal alam secara
bertanggung jawab, mencegah dan mengurangi polusi, dan menciptakan peluang
untuk meningkatkan kesejahteraan sosial secara keseluruhan dengan membangun
ekonomi hijau (green economy), dan akhirnya memungkinkan pencapaian tujuan
pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Sedangkan,
Ekonomi Islam memiliki tujuan untuk memecahkan
masalah ekonomi melalui pemberdayaan dan perwujudan ekonomi Islam, dengan
mempertimbangkan masalah distribusi pendapatan, ketimpangan ekonomi dan
industrialisasi (Iskandar, 2018). Hal tersebut didasari atas munculnya disparitas
ekonomi yang muncul, karena iming-iming konsep trickle down effect
(Aghion & Bolton, 1997), para elit ekonomi besar memiliki keistimewaan
untuk mengelola sumber daya ekonomi yang sangat besar dengan harapan dapat
berdampak pada kesejahteraan rakyat. Masalah tersebut ditandai dengan
kesenjangan ekonomi antara kelompok kaya dan miskin. Hal ini ditunjukkan dengan
kenaikan koefisien gini. Koefisien gini menjadi indikator yang menunjukkan
disparitas pendapatan secara keseluruhan. Berkisar dari 0 sampai 1, dengan
nilai 0 berarti pemerataan ekonomi yang sempurna ketika setiap orang memperoleh
pendapatan yang sama (Arize, Bakarezos, Kallianiotis, Malindretos, &
Phelan, 2018).
Ekonomi
islam mempunyai ciri khas yang sangat berbeda dari ekonomi konvensional salah
satunya adalah penerapan maqashid syariah pada setiap unsur unsur ekonomi islam
yang tidak ada pada ekonomi konvensional seperti pemeliharanan agama, jiwa,
akal, keturunan dan harta, pemeliharaan maqasid syariah ini akan membawa
ekonomi islam menuju jati diri ekonomi islam sebagai sistem yang membawa
kemaslahatan pada setiap manusia. Ekonomi Islam sebagai arus baru ekonomi
Indonesia pada gilirannya telah memberikan kontribusi positif bagi pembangunan
nasional di Indonesia. Dukungan kelembagaan sistem ekonomi syariah seperti yang
ditunjukkan oleh Bank Indonesia, Badan Wakaf Indonesia, Badan Amil Zakat
Nasional (Baznas), dan Dewan Syariah Nasional telah meningkatkan minat
masyarakat terhadap ekonomi Islam. Sebagai kekuatan ekonomi baru di Indonesia,
ekonomi Islam tidak hanya mendapat dukungan positif dari masyarakat tetapi juga
menghadapi tantangan.
Mengenai
distribusi kekayaan, Islam mengajarkan bahwa kesejahteraan dan kekayaan tidak
boleh dimiliki oleh komunitas tertentu tetapi harus dibagi kepada semua orang
secara adil dan proporsional (Aprianto, 2016). Ini menolak klaim keberhasilan
ekonomi pasar. Ekonomi Islam di Indonesia telah didirikan dan dijalankan oleh
umat Islam Indonesia. Pemerintah seolah setengah hati dengan kebijakan dan
instrumen keuangannya untuk mensinkronkan ekonomi Islam. Namun, setidaknya
kebijakan moneter dan fiskal pemerintah telah melibatkan prinsip-prinsip
moneter dan fiskal Islam. Pengeluaran negara dan kestabilan moneter perlu
diimbangi dengan peran umat Islam dalam pembangunan nasional. Kebijakan
distribusi pendapatan yang adil tidak akan hadir jika pemerintah gagal
bertindak sebagai pengatur pembangunan dan kesejahteraan (Aprianto, 2016;
Fadlan, 2010; Bahri S, 2016).
Dengan
demikian, ekonomi hijau dan ekonomi Islam pada dasarnya dibangun dari perbedaan
filosofi yang ada. Pada ekonomi hijau pengembangan keilmuannya tersebut
difokuskan pada perubahan iklim dan pemanasan global yang terjadi di bumi dan
pengurangan emisi karbon. Pengembangan tersebut bukan berarti mengakibatkan
pengesampingan berbagai macama fokus ekonomi lainnya. Pada ekonomi hijau tetap
memiliki tujuan untuk membangun peradaban manusia yang lebih maju dengan
memperhatikan kesejahteraan yang dimiliki. Sedangkan pada Ekonomi Islam
dibangun atas dasar terjadinya ketimpangan dan kesenjangan ekonomi yang terjadi
di masyarakat. Hal tersebut ditunjukkan dengan tinggi angka disparitas ekonomi
melalui koefisien gini. Alasan tersebut yang menyebabkan perlunya ide baru
dalam memperbaiki kondisi ekonomi di tengah masyarakat yaitu ekonomi Islam.
Berdasrkan uraian dari kedua penjelasan di atas maka, ekonomi hijau dan ekonomi
Islam keduanya tidak dibangun dari dasar yang sama, tetapi keduanya memiliki
tujuan yang sama yaitu untuk kesejahteraan masyarakat, sehingga keduanya
sebenarnya dapat berjalan bersamaan dan beriringan. Apabila diperhatikan dengan
lebih dan saksama lagi dengan adanya penerapan kedua sudut pandang perekonomian
tersebut dapat mengentaskan permasalahan disparitas ekonomi yang terjadi,
sekaligus memiliki fokus untuk menjaga kondisi iklim di bumi.
Referensi
Kasztelan,
A. (2017). Green growth, green economy and sustainable development: terminological
and relational discourse. Prague Economic Papers, 26(4), 487-499.
Cappo,
D., & Board, S. I. (2002, November). Social inclusion initiative. In Social
inclusion, participation and empowerment. Address to Australian Council of
Social Services National Congress (pp. 28-29).
Iskandar,
I. (2018). Islamic Economics as A New Current of Economic Development in
Indonesia. Muqtasid: Jurnal Ekonomi Dan Perbankan Syariah, 9(2), 150-158.
Aghion,
P., & Bolton, P. (1997). A theory of trickle-down growth and development.
The review of economic studies, 64(2), 151-172.
Arize,
A. C., Bakarezos, P., Kallianiotis, I. N., Malindretos, J., & Phelan, J.
(2018). The Gini Coefficient: An Application to Greece. International Journal
of Economics and Finance, 10(3), 205-214.
Aprianto,
N. E. K. (2016). Kebijakan Distribusi dalam Pembangunan Ekonomi Islam.
Al-Amwal: Jurnal Ekonomi dan Perbankan Syari'ah, 8(2).
Fadlan,
F. (2010). Konsep Pembangunan Ekonomi Berbasis Islam (Sebuah Upaya Pembangunan
Ekonomi Indonesia yang Adil, Makmur, dan Sejahtera). Al-Ihkam: Jurnal Hukum
& Pranata Sosial, 5(2), 257-274.
Bahri,
A. (2016). Zakat Sebagai Instrumen Pembangunan Ekonomi Kesejahteraan Ummat.
Jurnal Studi Ekonomi dan Bisnis Islam, I, 16(2), 74-88.
comment 0 Comment
more_vert