MAHAR DALAM ISLAM
Ditulis
oleh : Sofie Dhinar Yustisia
Mahar
dalam Al Quran dan kitab-kitab fikih klasik disebut juga dengan istilah تاقدصلا
, رجأ
Mahar
tidak terlepas dari pernikahan atau perkawinan, unsur terpenting dalam
pensyariatan mahar dalam pernikahan adalah perhatian dan penghargaan terhadap
kedudukan wanita. Perintah itu bertujuan bukan hanya untuk mengesahkan ikatan
pernikahan, melainkan juga untuk mengafirmasi kedudukan perempuan sebagai
mahluk yang setara dengan laki-laki. Di era jahîliyyah kaum perempuan cenderung
tidak diberikan kekuasaan terhadap mahar yang dibayarkan, mereka hanya dituntut
untuk patuh terhadap pernikahan yang diselenggarakan oleh walinya yang kemudian
memiliki hak mahar yang dibayarkan. Pascapemberian hak mahar kepada perempuan
barulah hak mahar menjadi milik perempuan seutuhnya. Persis pada saat itulah
kaum perempuan bukan lagi dianggap sebagai spesies yang terkekang, melainkan
manusia yang dihargai kedudukannya.
Ada
beberapa definisi dari ulama-ulama madzhab tentang mahar yang kesemuanya itu
memperlihatkan bahwa pensyariatan pemberian hak mahar kepada istri membuktikan
bagaimana Islam mengafirmasi hak kaum perempuan, sebagaimana disebutkan berikut
ini:
1. Menurut
Madzhab Hanafi, mahar adalah sesuatu yang didapatkan oleh seorang perempuan
akibat akad pernikahan atau persetubuhan.
2. Menurut
Madzhab Maliki mahar adalah sesuatu yang diberikan kepada seorang istri sebagai
imbalan persetubuhan dengannya.
3. Menurut
Madzhab Syafi’i mahar adalah sesuatu yang diwajibkan sebab pernikahan atau
persetubuhan, atau hilangnya kehormatan perempuan dengan tanpa daya, seperti
akibat susuan dan mundurnya para saksi.
4. Menurut
Madzhab Hambali mahar adalah pengganti dalam akad pernikahan, baik mahar yang
disebutkan di dalam akad, atau ditetapkan setelahnya (dengan keridhaan kedua
belah pihak atau hakim)..
Mahar
sudah dikenal pada masa jahîliyyah, jauh sebelum kedatangan Islam. Akan tetapi,
mahar sebelum datangnya Islam bukan diperuntukkan kepada calon istri, melainkan
kepada ayah atau kerabat dekat laki-laki dari pihak istri, karena konsep
perkawinan menurut berbagai bentuk hukum adat ketika itu sama dengan transaksi
jual beli, yakni jual beli antara calon suami sebagai pembeli dengan ayah atau
keluarga dekat laki-laki dari calon istri sebagai pemilik barang. Ketika
Al-Quran datang, mahar tetap dilanjutkan, hanya saja konsepnya yang mengalami
perubahan. Jika awalnya mahar dibayarkan kepada orang tua (ayah) calon istri
sekarang mahar tersebut diperuntukkan bagi calon istri. Dengan demikian Al-Quran
mengubah status perempuan dari hanya sekedar “komoditi” menjadi subjek yang
ikut terlibat dalam suatu kontrak.
Berbeda
dengan mahar, kata-kata yang disebut pertama (al-shadûq, nihlah, farîdhah, ajr)
secara eksplisit diungkap di dalam Al-Quran seperti yang terdapat dalam QS
Al-Nisâ’ (4): 4 Allah Swt. berfirman: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita
(yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang wajib. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka
gunakanlah (makanlah) pemberian itu dengan sedap dan nikmat. Ayat ini berpesan
kepada semua orang, khususnya para suami dan wali yang sering mengambil mahar
perempuan yang berada dalam perwaliannya. Berikanlah maskawin-maskawin, yakni
mahar, kepada wanita-wanita yang kamu nikahi, baik mereka yatim maupun bukan,
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Lalu jika mereka, yakni wanita-wanita
yang kamu kawini itu dengan senang hati, tanpa paksaan atau penipuan,
menyerahkan untuk kamu sebagian darinya atau seluruh maskawin itu, maka
makanlah, yakni ambil dan gunakanlah sebagai pemberian yang sedap, lezat tanpa
mudhârat lagi baik akibatnya.
Maskawin
oleh ayat ini disebut dengan shaduqât, bentuk jamak dari shaduqa, yang terambil dari akar yang berarti “kebenaran”. Ini karena
maskawin itu didahului oleh janji, maka pemberian itu merupakan bukti kebenaran
dan janji. Dapat juga dikatakan bahwa maskawin bukan saja lambang yang
membuktikan kebenaran dan ketulusan hati suami untuk menikah dan menanggung
kebutuhan hidup istrinya, tetapi lebih dari itu, ia adalah lambang dari janji
untuk tidak membuka rahasia kehidupan rumah tangga, khususnya rahasia terdalam
yang tidak dibuka oleh seorang wanita kecuali pada suaminya. Menamai maskawin
dengan nama tersebut di atas diperkuat oleh lanjutan ayat yakni nihlat. Kata
ini berarti “pemberian yang tulus tanpa mengharapkan sedikitpun imbalan”. Ia
juga dapat berarti agama, pandangan hidup, sehingga maskawin yang diserahkan
itu merupakan bukti kebenaran dan ketulusan hati sang suami yang diberikannya
tanpa mengaharapkan imbalan, bahkan diberikannya karena didorong oleh tuntutan
agama atau pandangan hidupnya. Kerelaan istri menyerahkan kembali maskawin itu
harus benar-benar muncul dari lubuk hatinya. Karena ayat di atas, setelah
menyatakan thibna yang maknanya mereka senang hati, ditambah lagi dengan kata nafsan (jiwa), untuk menunujukkan betapa
kerelaan itu muncul dari lubuk jiwanya yang dalam, tanpa tekanan, penipuan, dan
paksaan dari siapapun. Dari ayat ini dipahami adanya kewajiban suami membayar
maskawin untuk istri dan bahwa maskawin itu adalah hak istri secara penuh.
Berangkat
dari ayat ini para ulama telah menetapkan bahwa mahar itu hukumnya wajib
berdasarkan Al-Quran, sunnah dan ijmak. Mahar oleh para ulama ditempatkan
sebagai syarat sahnya nikah. Hal ini sesuai dengan yang diajarkan oleh Nabi
kepada sahabatnya: “Ya Rasul Allah bila
anda tidak punya keinginan untuk mengawininya, maka kawinkan saya dengannya.
Nabi berkata: “Apa kamu memiliki sesuatu”. Ia berkata: “tidak ya Rasulallah”.
Nabi berkata “Pergilah kepada keluargamu mungkin kamu mendapatkan sesuatu.
Kemudian dia pergi dan segera kembali dan berkata:”Saya tidak memperoleh
sesuatu ya Rasulallah”. Nabi berkata:”carilah walaupun hanya sebentuk cincin
besi.
Dari
dasar hukum mahar tersebut jelaslah bahwa hukum memberi mahar itu adalah wajib.
Artinya laki-laki yang mengawini seorang perempuan wajib menyerahkan mahar
kepada istrinya dan berdosa apabila suami tidak menyerahkan mahar kepada
istrinya. Dari adanya perintah Allah dan perintah nabi untuk memberikan mahar,
maka para ulama bersepakat untuk menetapkan hukum wajibnya memberi mahar kepada
istri, dan tidak ditemukan dalam literatur ulama manapun yang menempatkan
pemberian mahar sebagai rukun. Mereka sepakat menempatkannya sebagai syarat sah
bagi suatu perkawinan. Artinya perkawinan yang tidak menggunakan mahar adalah
tidak sah. Bahkan ulama Zahiriyyah mengatakan bahwa apabila dalam akad nikah
tidak dipersyaratkan memakai mahar, maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Di
Indonesia, kompilasi Hukum Islam yang mengatur tentang pemberian mahar secara
panjang lebar tercantum dalam undang-undang pernikahan yang terdapat dalam
pasal 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, dan
38. Secara substansial hampir seluruh aturan tersebut mengadopsi dari kitab
fiqh menurut jumhûr ‘ulama.
Pada
umumnya mahar itu dalam bentuk materi, baik berupa uang atau barang berharga
lainnya. Namun syari’at Islam memungkinkan mahar itu dalam bentuk jasa melakukan
sesuatu. Ini adalah pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama. Mahar dalam
bentuk jasa ini ada landasannya dalam AlQuran dan demikian pula dalam Hadits.
Dalam Al-Quran contoh mahar yang berbentuk jasa ialah mengembalakan kambing
selama 8 tahun sebagai mahar perkawinan seorang perempuan. Hal ini dikisahkan
Allah dalam QS al-Qashas (28): 27: Berkatalah
dia (Syu’aib): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang
dari kedua anak perempuanku ini atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan
tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun, maka itu adalah (suatu kebaikan)
dari kamu”. Hal serupa juga terdapat dalam hadits nabi yang menjadikan
pengajaran Al-Quran sebagai mahar perkawinan. Hal ini terdapat dalam Hadits
yang diriwayatkan dari Sahal ibn Sa’ad al-Sa’adiy: Nabi
berkata: “Apakah kamu memiliki hafalan ayat-ayat Al-Quran?” Ia menjawab: Ya,
surat ini dan surat ini, sambil menghitungnya”. Nabi berkata: “Kamu hafal
surat-surat itu di luar kepala?” dia menjawab: “Ya”. Nabi berkata: “Pergilah,
saya kawinkan engkau dengan perempuan itu dengan mahar mengajarkan Al-Quran”.
Jadi,
mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh lelaki kepada wanita karena
sebab pernikahan dalam bentuk materi ataupun jasa. Mahar merupakan simbol
kesungguhan, kebenaran, dan ketulusan seorang lelaki untuk menikahi wanitanya. Mahar
juga menjadi syarat sah bagi suatu pernikahan. Artinya perkawinan yang tidak
menggunakan mahar adalah tidak sah. Di Indonesia pun, sudah diatur dalam
undang-undang pernikahan.
Daftar Pustaka
Al-Munawwir, A. W. (1997). Kamus al-Munawwir.
Surabaya: Pustaka Progresif.
Damis, H. (2016). Konsep Mahar dalam Perspektif Fikih. Jurnal
Yudisial Vol. 9 No. 1 April 2016: 19 - 35 , 22.
comment 0 Comment
more_vert