MASIGNCLEAN101

MAHAR DALAM ISLAM

12/02/2022

 

MAHAR DALAM ISLAM

Ditulis oleh : Sofie Dhinar Yustisia

Mahar dalam Al Quran dan kitab-kitab fikih klasik disebut juga dengan istilah تاقدصلا , رجأ  (Al-Munawwir, 1997). Istilah mahar disebut juga dengan istilah ةلحن ,ةضيرفلا dan دقعلا . Mahar secara bahasa berarti pandai, mahir, karena dengan menikah dan membayar mas kawin, pada hakikatnya seorang pria sudah dipandang pandai dan mahir dalam hal urusan rumah tangga, pandai membagi waktu, uang, dan perhatian kepada keluarga. Mahar disebut dengan istilah shaduqah, yang seakar dengan kata shidqu berarti kesungguhan. Hal ini merupakan isyarat bahwa apa yang diberikan merupakan bukti kesungguhan suami untuk menikah ( (Damis, 2016)). Mahar juga disebut dengan istilah ajr yang berarti upah, hal itu dimaksudkan mahar diposisikan sebagai upah atau ongkos dalam mempergauli istri secara halal dan adalah pemberian yang wajib diberikan oleh suami dengan sebab adanya akad atau adanya pernikahan. Mahar menurut istilah adalah sebutan untuk harta yang wajib diberikan kepada seorang perempuan oleh seorang laki-laki karena sebab pernikahan (Jayakrama, 2014).

Mahar tidak terlepas dari pernikahan atau perkawinan, unsur terpenting dalam pensyariatan mahar dalam pernikahan adalah perhatian dan penghargaan terhadap kedudukan wanita. Perintah itu bertujuan bukan hanya untuk mengesahkan ikatan pernikahan, melainkan juga untuk mengafirmasi kedudukan perempuan sebagai mahluk yang setara dengan laki-laki. Di era jahîliyyah kaum perempuan cenderung tidak diberikan kekuasaan terhadap mahar yang dibayarkan, mereka hanya dituntut untuk patuh terhadap pernikahan yang diselenggarakan oleh walinya yang kemudian memiliki hak mahar yang dibayarkan. Pascapemberian hak mahar kepada perempuan barulah hak mahar menjadi milik perempuan seutuhnya. Persis pada saat itulah kaum perempuan bukan lagi dianggap sebagai spesies yang terkekang, melainkan manusia yang dihargai kedudukannya.

Ada beberapa definisi dari ulama-ulama madzhab tentang mahar yang kesemuanya itu memperlihatkan bahwa pensyariatan pemberian hak mahar kepada istri membuktikan bagaimana Islam mengafirmasi hak kaum perempuan, sebagaimana disebutkan berikut ini:

1.      Menurut Madzhab Hanafi, mahar adalah sesuatu yang didapatkan oleh seorang perempuan akibat akad pernikahan atau persetubuhan.

2.      Menurut Madzhab Maliki mahar adalah sesuatu yang diberikan kepada seorang istri sebagai imbalan persetubuhan dengannya.

3.      Menurut Madzhab Syafi’i mahar adalah sesuatu yang diwajibkan sebab pernikahan atau persetubuhan, atau hilangnya kehormatan perempuan dengan tanpa daya, seperti akibat susuan dan mundurnya para saksi.

4.      Menurut Madzhab Hambali mahar adalah pengganti dalam akad pernikahan, baik mahar yang disebutkan di dalam akad, atau ditetapkan setelahnya (dengan keridhaan kedua belah pihak atau hakim)..

Mahar sudah dikenal pada masa jahîliyyah, jauh sebelum kedatangan Islam. Akan tetapi, mahar sebelum datangnya Islam bukan diperuntukkan kepada calon istri, melainkan kepada ayah atau kerabat dekat laki-laki dari pihak istri, karena konsep perkawinan menurut berbagai bentuk hukum adat ketika itu sama dengan transaksi jual beli, yakni jual beli antara calon suami sebagai pembeli dengan ayah atau keluarga dekat laki-laki dari calon istri sebagai pemilik barang. Ketika Al-Quran datang, mahar tetap dilanjutkan, hanya saja konsepnya yang mengalami perubahan. Jika awalnya mahar dibayarkan kepada orang tua (ayah) calon istri sekarang mahar tersebut diperuntukkan bagi calon istri. Dengan demikian Al-Quran mengubah status perempuan dari hanya sekedar “komoditi” menjadi subjek yang ikut terlibat dalam suatu kontrak.

Berbeda dengan mahar, kata-kata yang disebut pertama (al-shadûq, nihlah, farîdhah, ajr) secara eksplisit diungkap di dalam Al-Quran seperti yang terdapat dalam QS Al-Nisâ’ (4): 4 Allah Swt. berfirman: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang wajib. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka gunakanlah (makanlah) pemberian itu dengan sedap dan nikmat. Ayat ini berpesan kepada semua orang, khususnya para suami dan wali yang sering mengambil mahar perempuan yang berada dalam perwaliannya. Berikanlah maskawin-maskawin, yakni mahar, kepada wanita-wanita yang kamu nikahi, baik mereka yatim maupun bukan, sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Lalu jika mereka, yakni wanita-wanita yang kamu kawini itu dengan senang hati, tanpa paksaan atau penipuan, menyerahkan untuk kamu sebagian darinya atau seluruh maskawin itu, maka makanlah, yakni ambil dan gunakanlah sebagai pemberian yang sedap, lezat tanpa mudhârat lagi baik akibatnya.

Maskawin oleh ayat ini disebut dengan shaduqât, bentuk jamak dari shaduqa, yang terambil dari akar yang berarti “kebenaran”. Ini karena maskawin itu didahului oleh janji, maka pemberian itu merupakan bukti kebenaran dan janji. Dapat juga dikatakan bahwa maskawin bukan saja lambang yang membuktikan kebenaran dan ketulusan hati suami untuk menikah dan menanggung kebutuhan hidup istrinya, tetapi lebih dari itu, ia adalah lambang dari janji untuk tidak membuka rahasia kehidupan rumah tangga, khususnya rahasia terdalam yang tidak dibuka oleh seorang wanita kecuali pada suaminya. Menamai maskawin dengan nama tersebut di atas diperkuat oleh lanjutan ayat yakni nihlat. Kata ini berarti “pemberian yang tulus tanpa mengharapkan sedikitpun imbalan”. Ia juga dapat berarti agama, pandangan hidup, sehingga maskawin yang diserahkan itu merupakan bukti kebenaran dan ketulusan hati sang suami yang diberikannya tanpa mengaharapkan imbalan, bahkan diberikannya karena didorong oleh tuntutan agama atau pandangan hidupnya. Kerelaan istri menyerahkan kembali maskawin itu harus benar-benar muncul dari lubuk hatinya. Karena ayat di atas, setelah menyatakan thibna yang maknanya mereka senang hati, ditambah lagi dengan kata nafsan (jiwa), untuk menunujukkan betapa kerelaan itu muncul dari lubuk jiwanya yang dalam, tanpa tekanan, penipuan, dan paksaan dari siapapun. Dari ayat ini dipahami adanya kewajiban suami membayar maskawin untuk istri dan bahwa maskawin itu adalah hak istri secara penuh.

Berangkat dari ayat ini para ulama telah menetapkan bahwa mahar itu hukumnya wajib berdasarkan Al-Quran, sunnah dan ijmak. Mahar oleh para ulama ditempatkan sebagai syarat sahnya nikah. Hal ini sesuai dengan yang diajarkan oleh Nabi kepada sahabatnya: “Ya Rasul Allah bila anda tidak punya keinginan untuk mengawininya, maka kawinkan saya dengannya. Nabi berkata: “Apa kamu memiliki sesuatu”. Ia berkata: “tidak ya Rasulallah”. Nabi berkata “Pergilah kepada keluargamu mungkin kamu mendapatkan sesuatu. Kemudian dia pergi dan segera kembali dan berkata:”Saya tidak memperoleh sesuatu ya Rasulallah”. Nabi berkata:”carilah walaupun hanya sebentuk cincin besi.

Dari dasar hukum mahar tersebut jelaslah bahwa hukum memberi mahar itu adalah wajib. Artinya laki-laki yang mengawini seorang perempuan wajib menyerahkan mahar kepada istrinya dan berdosa apabila suami tidak menyerahkan mahar kepada istrinya. Dari adanya perintah Allah dan perintah nabi untuk memberikan mahar, maka para ulama bersepakat untuk menetapkan hukum wajibnya memberi mahar kepada istri, dan tidak ditemukan dalam literatur ulama manapun yang menempatkan pemberian mahar sebagai rukun. Mereka sepakat menempatkannya sebagai syarat sah bagi suatu perkawinan. Artinya perkawinan yang tidak menggunakan mahar adalah tidak sah. Bahkan ulama Zahiriyyah mengatakan bahwa apabila dalam akad nikah tidak dipersyaratkan memakai mahar, maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Di Indonesia, kompilasi Hukum Islam yang mengatur tentang pemberian mahar secara panjang lebar tercantum dalam undang-undang pernikahan yang terdapat dalam pasal 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, dan 38. Secara substansial hampir seluruh aturan tersebut mengadopsi dari kitab fiqh menurut jumhûr ‘ulama.

Pada umumnya mahar itu dalam bentuk materi, baik berupa uang atau barang berharga lainnya. Namun syari’at Islam memungkinkan mahar itu dalam bentuk jasa melakukan sesuatu. Ini adalah pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama. Mahar dalam bentuk jasa ini ada landasannya dalam AlQuran dan demikian pula dalam Hadits. Dalam Al-Quran contoh mahar yang berbentuk jasa ialah mengembalakan kambing selama 8 tahun sebagai mahar perkawinan seorang perempuan. Hal ini dikisahkan Allah dalam QS al-Qashas (28): 27: Berkatalah dia (Syu’aib): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun, maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu”. Hal serupa juga terdapat dalam hadits nabi yang menjadikan pengajaran Al-Quran sebagai mahar perkawinan. Hal ini terdapat dalam Hadits yang diriwayatkan dari Sahal ibn Sa’ad al-Sa’adiy:  Nabi berkata: “Apakah kamu memiliki hafalan ayat-ayat Al-Quran?” Ia menjawab: Ya, surat ini dan surat ini, sambil menghitungnya”. Nabi berkata: “Kamu hafal surat-surat itu di luar kepala?” dia menjawab: “Ya”. Nabi berkata: “Pergilah, saya kawinkan engkau dengan perempuan itu dengan mahar mengajarkan Al-Quran”.

Jadi, mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh lelaki kepada wanita karena sebab pernikahan dalam bentuk materi ataupun jasa. Mahar merupakan simbol kesungguhan, kebenaran, dan ketulusan seorang lelaki untuk menikahi wanitanya. Mahar juga menjadi syarat sah bagi suatu pernikahan. Artinya perkawinan yang tidak menggunakan mahar adalah tidak sah. Di Indonesia pun, sudah diatur dalam undang-undang pernikahan.





Daftar Pustaka

Al-Munawwir, A. W. (1997). Kamus al-Munawwir. Surabaya: Pustaka Progresif.

Damis, H. (2016). Konsep Mahar dalam Perspektif Fikih. Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 1 April 2016: 19 - 35 , 22.


FOSEI UNSOED

Akun Official KSEI FOSEI Universitas Jenderal Soedirman